Nasional

164 Tahun Warga Menjaga Kerukunan di Gang Tapekong Cikarang

Sab, 29 Oktober 2022 | 11:00 WIB

164 Tahun Warga Menjaga Kerukunan di Gang Tapekong Cikarang

Gang Tepekong membuat seseorang belajar lebih arif tentang beragam keyakinan dan budaya yang ada di Indonesia. (Foto: NU Online/Syifa)

Bekasi, NU Online

Di sebuah jalan bernama KH Fudholi, sekira 100 meter dari stasiun Cikarang, Bekasi, Jawa Brat terdapat sebuah gang bernama Tapekong. Di sana berdiri sebuah klenteng bernama Tek Seng Bio, bangunan dengan dominasi warna merah dan juga motif naga seakan menyambut siapa pun yang datang dan berkunjung. 


Saat pertama kali menginjakkan kaki, suasana sakral klenteng Tek Seng Bio begitu terasa, dengan aroma dupa menyengat di tiap sudut ruangan. Asap putih hasil pembakaran dupa pun begitu kental terlihat. Suasana itu justru menambah kekhusyuan bagi pengunjung dalam melaksanakan ibadah, di tempat ini pula masyarakat Tionghoa meminta kepada tuhannya.


Konon klenteng yang berada di Desa Karangasih Kecamatan Cikarang Utara ini merupakan salah satu bangunan tertua di Cikarang yang dibangun sejak tahun 1825. Bangunan yang masyhur disebut ‘Rumah Tapekong’ ini menjadi saksi bisu awal masuknya bangsa Tionghoa ke tanah Cikarang, Kabupaten Bekasi yang diperkirakan sekitar abad ke-16.


Pengurus Klenteng Tek Seng Bio, Culing menjelaskan, klenteng ini memang merupakan salah satu bangunan tertua di Cikarang. Sebelum dibangun di daerah Karangasih yang saat ini, nama Tek Seng Bio sempat dibangun di Kecamatan Karangbahagia. Namun pada masa itu kondisinya kurang kondusif, sehingga masyarakat Tionghoa memindahkannya ke Kampung Tepekong atau yang terkenal saat ini yaitu di jalan KH Fudholi.


“Dulu awalnya di Karangbahagia cuma pada waktu itu kondisinya kurang kondusif. Jadi kita bangun lagi pada tahun sekitar 1825 di Karangasih, dulu namanya Kampung Tepekong, makanya terkenal sebagai rumah tapekong,” katanya, saat ditemui NU Online, Jumat (28/10/2022). 


Meski telah ada sejak abad 16 namun klenteng yang memiliki luas bangunan 60×50 meter ini sudah banyak mengalami perubahan, arsitektur aslinya hanya tersisa kira-kira 10 persen. Yaitu kusen dengan dua daun pintu khas kayu buatan zaman dahulu kala dan dua Tambur dan Peti. Tambur tidak memiliki hiasan atau ukiran namun masih berfungsi sebagai alat tetabuh pada saat acara Cap Go Meh.


Klenteng ini di peruntukan untuk tempat ibadah umat Kong Hu Cu, Taoisme dan juga Budha. Namun yang lebih menarik lagi meski berada di tengah tengah perkampungan yang di dominasi oleh para penduduk yang beragama Islam, toleransi terasa indah sekali, bahkan letak kelenteng Tek Seng Bio sangat berdekatan dengan Masjid Nurul Huda. 


Menurut Suyanto (48) pemilik penitipan motor di stasiun Cikarang, sejak dulu harmonisasi antara warga sekitar sangatlah kondusif. Bahkan ketika ada perayaan tahun baru imlek dan juga kirab ketika acara Cap Go Meh, antusias warga tak kepalang meriahnya. Meski iring-iringan Jolly atau tandu dewa dengan dilengkapi atraksi Barongsay membuat lalu-lintas macet namun tak ada yang marah atau protes tak karuan, semuanya menikmati kirab dengan suka cita.


“Seru, hiburan. Sejak dulu emang begitu. Di gang ini kan rata-rata cina tapi kita adem-adem aja. Ya hidup rukunlah,” ujar Yanto, sapaan akrabnya, saat ditemui NU Online di kios penitipan motor, stasiun Cikarang, Kamis (27/10/2022).


Seperti yang disebutkan Yanto di sekitar klenteng memang masih banyak berdiri beberapa bangunan-bangunan bergaya arsitektur Tionghoa. Masyarakat Tionghoa juga masih ada yang membuka toko di sepanjang jalan itu.


Dari gang Tepekong dapat diambil pelajaran bahwa menghormati toleransi membuat seseorang mampu belajar lebih arif tentang beragam keyakinan dan budaya yang ada di Indonesia. Berdirinya rumah Tapekong juga mengajarkan bahwa tidak ada jarak sejengkal pun untuk menghalangi terciptanya harmonisasi antar suku beragama. Kerukunan terpintal dengan indah dengan jalinan kasih sayang lewat interaksi warganya. 


Gang Tapekong menjadi bukti bahwa selama 164 tahun kerukunan antarpenduduk di sekitar Pasar Lama Cikarang terpupuk dengan harmonis hingga saat ini, sungguh sebuah pencapaian kedamaian yang patut di apresiasi. Di sana terekam dengan jelas sebuah kedamaian dan toleransi, saling menghargai tak saling mencaci, yang menyadarkan bahwa saling menghormati jauh lebih indah dibanding harus saling memaki.


Penulis: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad

 

====================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI