Nasional

7 Hari Pascawafat, Makam Mbah Dim Diziarahi Ribuan Nahdliyin

Sab, 18 Juni 2022 | 16:00 WIB

7 Hari Pascawafat, Makam Mbah Dim Diziarahi Ribuan Nahdliyin

Makam Mbah Dim di kompleks Pesantren Al-Fadhlu 2 ramai warga berziarah sebelum ikut Tahlilan di Pondok Al-Fadhlu 1. (Foto: NU Online/Hanan)

Kendal, NU Online
KH Dimyati Rois yang akrab disapa Mbah Dim merupakan seorang kiai kharismatik yang berasal dari Kendal, Jawa Tengah. Kiai yang wafat pada Jumat (10/6/2022) pekan lalu ini adalah pengasuh Pesantren Al-Fadhlu wal Fadhilah Kendal.


Tujuh hari pascawafat sosok yang masuk dalam jajaran Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini, makamnya yang berlokasi di Pesantren Al-Fadhlu wal Fadhilah 2 Srogo, Brangsong, Kendal, ramai diziarahi ribuan Nahdliyin.


Pantauan NU Online di makam Mbah Dim, ribuan peziarah berasal dari berbagai kota selain Kendal. Salah satu peziarah asal Kudus, H Sholikhudin, mengatakan bahwa dirinya dan rombongan berziarah terlebih dahulu sebelum menghadiri peringatan tujuh hari wafatnya Kiai Dimyati Rois.


“Saya bersama rombongan berempat ke makam Mbah Dim dulu untuk ziarah dan tabarukan beliau. Setelah ini kami lanjut ikut tahlilan tujuh hari,” jelasnya kepada NU Online, Kamis (16/6/2022).


Kiai yang komplit
Mbah Dim merupakan sosok kiai yang komplit semasa hidupnya. Pernyataan ini seperti disampaikan oleh Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) yang hadir dalam acara peringatan tujuh hari wafatnya Mbah Dim yang digelar di Pesantren Al-Fadhlu wal Fadhilah 1 Kendal.


“Yang dikenal di mana-mana Kiai Dim itu sosok yang sederhana, wiraswasta, alim, pejuang, petani, dan juga dikenal ahli hikmah. Kiai zaman kuno itu ya seperti Kiai Dim. Itu semua jadi satu pada Mbah Dim. Alim, kontekstual, ahli hikmah, wiraswastawan,” tegas Gus Mus.


Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah ini bahkan terheran-heran dengan cara berpolitik Kiai Dimyati.


Gus Mus yang dikenal sebagai pemilik mobil berplat nomor K 141 KU ini mengatakan bahwa Mbah Dim merupakan salah satu kiai yang berpolitik. Namun, orientasi, rujukan, dan dalil berpolitik yang digunakan dari kitab kuning.


“Yang dijadikan rujukan Pak Dim itu kitab kuning seperti Taqrib. Dulu Taqrib dibaca dan dimaknai secara biasa,” ungkapnya.


“Tapi kok bisa ya Taqrib digunakan untuk menata negara? Hanya kiai-kiai besar zaman dulu yang bisa seperti itu,” imbuh Gus Mus.


Mendaras kitab babon
Sementara itu, KH Abdullah Kafabihi Mahrus mengatakan bahwa Mbah Dim selalu mengkaji kitab-kitab babon seperti Fathul Wahab, Muhadzdzab, Asybah wan Nadha`ir, Shahih al-Bukhari-Muslim, dan sebagainya.


“Yang dibaca kitab-kitab besar. Namun di akhir-akhir Pasanan (pengajian Ramadhan sebelum beiau wafat-red), yang dibaca kitab-kitab kecil karena tenaganya,” tutur pengasuh Pesantren Lirboyo ini.


“Beliau sangat sayang terhadap santri, sangat eman terhadap santri. Dan beliau terhadap tamu sangat menghargai, sampai jam ngaji saja bila ada tamu, jam ngaji dikalahkan,” urai Kiai Kafabihi.


Kontributor: Ahmad Hanan
Editor: Musthofa Asrori