Opini

Mbah Dim dan Fragmen Unik di Panggung Partai Politik

Jum, 10 Juni 2022 | 20:53 WIB

Mbah Dim dan Fragmen Unik di Panggung Partai Politik

KH Dimyati Rois

KH Dimyati Rois atau Mbah Dim merupakan sosok kiai yang alim, rendah hati, sekaligus mandiri. Orang-orang yang menjumpainya menyaksikan Mbah Dim sebagai kiai sederhana, nan bijak. Akumulasi nilai dari sosok kharismatik inilah yang menempatkan Mbah Dim dihormati banyak orang, khususnya warga Nahdliyin.

 

Seperti laiknya kiai-kiai NU, ia humoris: tak segan melempar tawa di setiap pengajiannya. Cukup istimewa karena kiai yang kerap memakai peci hitam, baju putih dan sarung itu juga melek politik, meski tak terjun secara langsung dalam politik praktis.

 

Pada Muktamar ke-33 NU di Jombang, namanya masuk dalam daftar kiai sepuh NU anggota Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA), sebuah tim formatur yang bakal menetukan siapa yang layak menduduki posisi Rais Aam PBNU.

 

Waktu itu, sebagai jurnalis saya hadir dan dapat menerobos arena setelah melewati tiga lapis penjangaan Banser yang ketat. Di layar besar, terpampang sembilan nama kiai sepuh yang dipilih kiai se-Indonesia. Mbah Dim berada di urutan kelima, dengan perolehan 190 suara. Sedangkan pada Muktamar ke-34 NU di Lampung 2021 lalu, kiai kelahiran Bulukamba, Brebes, 5 Juni 1945 itu bahkan mendapat dukungan tertinggi: 503 suara. 

 

Ketika saya sampaikan kepada teman dari Kendal yang tengah mengedit video, sekira lokasinya 2 km dari arena muktamar, ia yang baru mengenal dunia santri bagitu takjub. Dan tentu bangga. “Mbah Dim? Mbah Dim Kendal itu?” katanya, seakan tak percaya kiai Se-Indonesia memilihnya sebagai anggota AHWA dalam urutan pertama. “Wah, ada orang hebat di Kendal ternyata,” ucap kameramen sekaligus editor video itu.

 

Hal tersebut, setidaknya, memberi gambaran kita akan kapasitas keulamaan Mbah Dim yang diakui banyak kiai dan tokoh. Wajar jika banyak kiai dan pejabat baik tingkat lokal sampai nasional sowan kepadanya. Selain sosok kiai yang mengajar santri, ia juga peduli tentang bagaimana persoalan umat. Menariknya, rujukannya tidak berasal dari keilmuan modern, melainkan dari kitab kuning dan tradisi pesantren.

 

Dari segi politik, misalnya, Mbah Dim banyak merujuk kepada Imam Al Ghazali dan Imam Al Mawardi. Dalam suatu ceramahnya, ia menyampaikan pandangan keduanya: politik adalah usaha-usaha perbaikan manusia menuju jalan yang menyelamatkan dunia dan akhirat. “Maka dari itu, menurut Imam Ghazali politik itu fardlu kifayah. Terkecuali menurut Imam Syafii, wajib. Padahal Anda semua bermadzhab kepada Imam Syafii, tapi kadang-kadang kiainya bertentengan dengan Imam Syafii. Sebab ada kiai yang mengatakan: pembangunan yes, politik no!” ungkapnya, sambil mengutip dalil. Menurutnya, politik tidak kotor, tapi sebagian pelaku politik lah yang mengotorinya.

 

Menurut Mbah Dim, agama tak hanya bicara tentang mental dan spiritual. Kitab Fatkhul Qarib saja, berbicara ubudiyah, muamalah, munakahah, muwaratsah sampai mati dibicarakan. Lebih-lebih jika mengacu kitab yang lebih besar seperti Ihya Ulumuddin yang menyebut apa yang jadi kepentingan-kepentingan umat menjadi fardlu kifayah. Ia mencontohkan, perindustrian, pertanian, dan teknologi juga menjadi bagian yang perlu dikuasai. “Kalau kita berbicara Islam dengan arti yang kompleks, penjabarannya sudah mencakup seluruh kehidupan umat. Namun kontekstual(isai) dari kita ini lemah,” paparnya.

 

Maka dari itu, sambungnya, saat sekarang selain diperlukan aktualisasi kitab salaf, juga mengkontekstualisikannya. “Santri-santri yang kontekstual, adalah santri-santri yang intelektual,” terangnya. Lalu ia pun mencontohkan seperti apa konteksualisasi kitab salaf itu.

 

Dikisahkan Mbah Dim, dalam Perjanjian Roem-Royen dan Linggarjati, Irian Barat akan kembali ke pangkuan Indonesia tahun 1948. Tapi sampai tahun 1952 tidak juga ‘rujuk.’ Waktu itu, Presiden Soekarno sowan kepada KH Abdul Wahab Chasbullah, dalam kapasitas sebagai Rais Aam PBNU.

 

“Pak Kiai, saya mau tanya. Orang-orang Belanda yang sekarang bercokol di Irian Barat tidak mau pulang ke negaranya. Padahal dalam perjanjian itu pulang tahun 1948. Itu menurut hukum Islam bagaimana?”

 

Kiai Wahab pun menjawab: “Itu hukumnya Ghasab!”

“Adakah literaturnya?”

“Ada.”

“Apa?”

“Kitab Fatkhul Qarib.”

“Ghasab itu apa?”

 

Kiai Wahab menjawab dengan khasiyah (komentar) Kitab Fatkhul Qarib, yaitu Al Baijuri. “Al Ghasbu istiqaqu maalil ghair bighairi haqqin.”

“Apa itu artinya?”

“Merampas haknya orang lain tanpa hak”

“Lalu cara mengatasinya bagaimana?”

“Harus diadakan perdamaian.”

“Lalu menurut feeling dan insting Pak Kiai, apakah dalam perdamaian akan berhasil?”

“Tidak akan berhasil”

“Kalau tidak berhasil, bagaimana kalau potong kompas?”

“Tidak boleh,”

 

Presiden Soekarno kemudian mengutus Dr Soebandrio berangkat ke Den Haag, Belanda untuk bertemu Royen. Yang dulu Roem Royen, yang kedua adalah Soebandrio-Royen. Lalu ia pulang dan melaporkan kepada Presiden. Setelah menerima laporan, Presiden kembali telepon Sang Rais Aam.


“Pak Kiai, sesuai dengan feeling Anda: tidak berhasil. Bagaimana, Pak Kiai? Apakah ada waktu ke Jakarta? Sebab saya sibuk sekali.”

 

Kiai Wahab terbang ke Jakarta bertemu Sang Proklamator. “Pak Kiai, ini orang ghashab diajak berdamai tidak mau. Lalu cara Islam bagaimana?”

 

“Menurut Syarah Bujairimi-Iqna’, kalau orang ghasab kok tidak mau diadakan perdamaian, akhadzahu qahran, harus diambil secara paksa!”

 

Tindak lanjut dari itu, Presiden Soekarno lalu membuat Trikora dan menjadi Dwikora. Akhirnya Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia.


“Luar biasa kontekstualisasinya. Kiai Wahab dengan Fatkhul Qaribnya, bukan (hanya) mengatasi masalah lokal, regional, bahkan nasional dan internasional. Sebab sampai ke PBB waktu itu. Namun sejarah dan cerita ini kadang-kadang tidak ada yang ngerti. Tidak dicatat dalam sejarah,” puji Mbah Dim, kepada maha guru politik kaum santri sekaligus pahlawan nasional, Kiai Wahab Chasbullah.

 

Melihat Langsung
Beberapa tahun lalu untuk pertama dan mungkin hanya sekali itu saja penulis berjumpa dan melihat Mbah Dim secara langsung. Saat itu penulis mendapat undangan menghadiri Halaqah Alim Ulama se-Jawa Tengah, yang diselenggarakan salah satu partai politik; PKB. Pertemuan digelar di Pesantren Al Fadhlu wal Fadhilah, Kaliwungu, Kendal, pesantren yang didirikan Mbah Dim atas hasil keringatnya sendiri. Saya hadir dalam kapasitas sebagai Ketua IPNU Cabang Purworejo (2011-2013).

 

Seperti pada umumnya seremonial, acara disusun sedemikian rupa: penyampaian sambutan, ceramah dan tentu saja intinya acara adalah makan-makan. Beragam menu disajikan dalam format prasmanan. Pelbagai olahan ikan segar ditata secara menarik di beberapa meja. Dugaan saya, ikan-ikan yang tersaji ini hasil dari tambak milik Mbah Dim. Bukan tanpa sebab, Mbah Dim sejauh ini memang dikenal memiliki keuletan dan jiwa kemandirian yang tinggi, khususnya di bidang perikanan dan pertanian. 

 

Sebenarnya, bukan soal makanan atau penyambutan hangat kepada para tamu yang membuat saya terkesan. Tidak pula orasi politik dari tokoh nasional yang hadir. Magnet kuat  dari halaqah itu tetaplah Mbah Dim, orang yang disepuhkan sekaligus Dewan Syuro DPP PKB. Ada satu fragmen menarik dari peristiwa pertemuan itu. Mungkin mengandung unsur unik dan klenik.

 

Di depan ratusan orang yang hadir waktu itu, ada panggung cukup besar yang diisi para tokoh. Tidak hanya para kiai dan pengasuh pesantren, politisi nasional juga tampak ingin berada di deretan depan. 

 

Rangkaian acara berjalan lancar penuh gayeng. Tokoh-tokoh yang dikawal maju ke panggung. Sebagian bahkan ada yang secara khusus minta dikawal untuk maju ke panggung. Maklum, siapa pun yang duduk di sana, akan menjadi pusat perhatian.

 

Puncak acara adalah doa, hal umum yang disampaikan master of ceremony. Siapa yang layak melangitkan harapan-harapan pada Tuhan untuk ratusan orang itu? Tentu saja Mbah Dimyati Rois.

 

Namun, ada hal yang aneh. Ketika MC menyebut dan mempersilahkan Mbah Dim, semua tokoh yang ada di atas panggung saling pandang. Mereka dibuat kaget bercampur heran; Mbah Dim menghilang dari deretan depan.

 

Masing-masing mata mencari keberadaan Mbah Dim. Saya sendiri tidak tahu kapan Mbah Dim menghilang. Para hadirin secara kompak sibuk mencari di ujung mana Mbah Dim berada. Tiba-tiba sesuatu terjadi.

 

Mbah Dim, orang yang akan memuncaki acara itu, berdiri dari arah kami – para hadirin – dan secara perlahan maju ke depan untuk berdoa. Hadirin terperangah, khususnya saya, yang menyaksikan sendiri kejadian itu. Ternyata, ketika semua orang ingin berebut di depan, beliau justru mundur dan berada diantara kami. Duduk lesehan, menghadap ke panggung, dan menjadi peserta secara umum. 

 

Fragmen itu, bagi saya adalah pelajaran yang menarik. Mungkin itulah implementasi nyata dari nasihat Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam Kitab Hikam: Idfib wujudaka fi ardil humul, fa ma nabata mimma lam yudfan la yatimmu nitajuhu, (kuburlah dirimu di dalam bumi ketidaknampakan, sebab benih yang tak ditanam di balik ketidaknampakan tak akan sempurna buahnya). Selamat jalan, Mbah Dim. Semoga kami, generasi muda, mampu meneladanimu. Lahul Faatihah.

 

Ahmad Naufa Khoirul Faizun adalah Jurnalis NU Online