Nasional

77 Tahun Indonesia Merdeka, Mengapa Nasib Petani Selalu Tertinggal?

Kam, 18 Agustus 2022 | 17:00 WIB

77 Tahun Indonesia Merdeka, Mengapa Nasib Petani Selalu Tertinggal?

Ilustrasi: serombongan petani sedang melaksanakan upacara bendera HUT RI. (Foto: Antara)

Jakarta, NU Online

Indonesia telah memasuki usia ke-77 tahun pada tahun ini. Namun berbagai masalah, masih saja terjadi di negeri ini. Salah satunya adalah problem kemiskinan, terutama pada nasib petani yang selalu tertinggal di belakang. Data pemerintah menunjukkan bahwa jumlah petani pada 2020 mencapai 33,4 juta jiwa.


Penulis buku Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, H As’ad Said Ali menuturkan, taraf hidup petani memang harus diakui memiliki perbaikan dibanding pada era kolonial. Di era Soeharto, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada 1969 merupakan awal pembangunan ekonomi secara terencana, setelah berbagai pemberontakan berhasil diredam dan Papua Barat kembali ke Ibu Pertiwi. 


Pada saat itu, petani mulai dikenalkan dengan bibit padi dan jagung unggul, cara menanam padi yang benar, pupuk buatan, penggilingan padi skala kecil dan menengah, sehingga tercipta swasembada beras pada 1985. Kemudian listrik masuk desa-desa, jalan aspal sampai gang-gang, ditambah ada fasilitas sekolah dasar inpres dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). 


“Di bidang kesehatan penyakit malaria, tipes, desentri dan kolera berkurang drastis. Salah satu faktornya adalah tersedianya obat generik yang murah dan para petani dibagikan bahan-bahan untuk membuat kakus, yang sebelumnya menjadikan tempat terbuka atau kali sebagai kakus alami,” tutur Kiai As’ad sebagaimana dikutip NU Online dari facebooknya, pada Kamis (18/8/2022). 


Ekonomi Pancasila

Kiai As’ad menuturkan, seorang Ekonom kenamaan Indonesia Prof Mubyarto pernah berkesempatan mempraktikkan ekonomi Pancasila. Inilah suatu sistem pemerataan sosial yang kuat, penciptaan ekonomi nasional sesuai asas kemanusiaan, serta suatu roda ekonomi yang digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral.


Menurut Prof Mubyarto, dikutip Kiai As’ad, koperasi telah menjadi sokoguru ekonomi dan dibarengi dengan perimbangan perencanaan yang jelas dan tegas pada tingkat nasional, dengan desentralisasi kegiatan demi keadilan sosial. Praktiknya adalah pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD) dan Instruksi Pembangunan Daerah Tertinggil atau disingkat IDT.


Kiai As’ad menjelaskan bahwa kebijakan nasional yang digulirkan sejak 1993 itu mampu menimbulkan gairan di perdesaan. Bahkan konsep KUD pun ditiru oleh Presiden Korea Selatan pada waktu itu, yakni Park Chung Hie dan berhasil menciptakan ekonomi perdesaan di sana. 


Kemudian, Presiden Soeharto jatuh. Kebijakan ekonomi, menurut Kiai As’ad, langsung berubah dan berkiblat meniru barat, terutama sejak 100 hari kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam hal ini, Kiai As’ad menyoroti soal amandemen UUD yang mengubah pasal 33 UUD 1945 dari prinsip keadilan sosial menjadi prinsip keadilan berdasarkan individu. 


“Sejak itu kehidupan  petani (atau) buruh tani tertinggal atau terpuruk. Petani pusing waktu masa tanam karena soal benih dan sulit mencari buruh tani yang pindah cari kerja ke pabrik, bingung mendapatkan pupuk yg terjangkau, tambah bingung saat panen karena harga gabah turun. Memang ada dana desa yang jumlahnya lumayan, tetapi praktiknya lebih didasarkan pertimbangan politik partai,” jelasnya.


Pria yang pernah menjabat Wakil Ketua Umum PBNU periode 2010-2015 itu menegaskan, kunci dari keberhasilan ekonomi Pancasila adalah dengan mempraktikkan koperasi secara rasional berbasis teknologi dan manajemen semi modern. Dengan kata lain, bukan sekadar paguyuban atau seperti arisan. 


“Prinsip lain yang bisa ditiru, jauhkan pengelolaan ekonomi secara politik , tetapi semata berdasarkan kemakmuran rakyat dan pemerataan pendapatan sesuai dengan keadilan sosial. Sayang prinsip keadilan sosial dalam UUD 45 telah diubah menjadi keadilan artinya suatu keadilan individu ala Barat,” jelasnya.


“Kita didikte oleh neo-liberalisme. Jangan heran nasib petani merana dan hal itu telah berlangsung sejak 100 hari pemerintahan Presiden SBY. Jangan salahkan siapa siapa, kecuali mereka yang merekayasa amandemen UUD 1945 khususnya pasal 33,” pungkas Kiai As’ad.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad