Nasional

Ai Dewi, Guru Madrasah yang Menghidupkan Pendidikan di Suku Terpencil Badui

Sen, 21 November 2022 | 20:29 WIB

Ai Dewi, Guru Madrasah yang Menghidupkan Pendidikan di Suku Terpencil Badui

Ai Dewi, guru keliling Suku Badui. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online
Tidak banyak pendidik atau guru yang secara sukarela memperjuangan dan mengabdi di daerah terpencil untuk menghidupkan pendidikan bagi anak-anak dan masyarakat. Namun berbeda dengan Ai Dewi, guru madrasah yang mendedikasikan diri untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak dan masyarakat Badui di Lebak, Banten.

 

Suatu ketika, informasi dari sebuah tabloid terkait dengan krisis pendidikan di lingkungan Suku Badui di Kabupaten Lebak sempat tak dihiraukan karena dirinya sedang melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Saat itu ia mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Masyarikul Huda Kampung Cicakal, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten.

 

Informasi yang disodorkan seorang temannya itu kembali melintas dalam pikiran dan hatinya. Sejenak berpikir, krisis pencerdasan di suku pedalaman Badui menggerakkan jiwa seorang Ai Dewi untuk mengisi kekosongan pembelajaran di sana.

 

“Informasi dari seorang teman melalui tabloidnya itu sempat tidak saya hiraukan karena saya lagi ngisi KBM. Tapi setelah KBM saya renungkan, berarti di kalangan Suku Badui itu sudah ada pendidikan tetap tidak ada gurunya,” ujar Ai Dewi.

 

Setelah melalui berbagai pertimbangan dan renungan, akhirnya hati Ai tergerak untuk menjadi guru keliling bagi Suku Badui karena menurutnya kalau di kota sudah banyak guru. Namun di pedalaman tersebut, justru berbanding terbalik dengan ketersediaan guru di kota atau daerah pada umumnya. 

 

Ia menjelaskan, di pedalaman Suku Badui ada pendidikan tetapi tidak ada gurunya. Kemudian ia berusaha mencari apa dan di mana Suku Badui tersebut. Upaya itu ia lakukan karena sebelumnya ia tidak familiar dengan suku di wilayah Provinsi Banten ini. Perempuan tiga anak ini akhirnya mengetahui keberadaaan mereka sesuai informasi yang sampai kepadanya yaitu di Kampung Cicakal Girang, di tengah hutan di Desa Kenekes. 

 

Di tengah penelusuran atas niatnya memberikan layanan pendidikan secara mandiri dan gratis untuk warga dan anak-anak Suku Badui Luar, ia mendapati sebuah sekolah yang memang bangunannya tidak layak. Kondisi ini diperparah karena tidak ada guru yang mengisi di dalamnya.

 

“Ternyata memang ada, sekolahan, atapnya bocor, lantainya dari tanah merah, dan penyangganya cuma dari bambu saja. Letaknya dari jalan raya harus jalan sekitar 10 kilometer,” kata perempuan kelahiran Cianjur, 2 September 1972 ini.

 

Tantangan hukum adat Badui
Setelah terjun ke lapangan, ia mendapati Suku Badui terbagi menjadi dua, Suku Badui Dalam dan Suku Badui Luar. Di antara dua kelompok suku di Badui ini, Badui Luar masih mudah dijangkau untuk melakukan pelayanan pendidikan walaupun Ai Dewi sendiri tetap harus menghadapi tantangan yang tidak mudah karena hukum adat Badui tidak membolehkan pendidikan atau belajar baca, tulis, maupun menghitung bagi warga dan anak-anaknya.

 

Tantangan hukum adat tersebut tidak menyurutkan niatnya untuk mencerdaskan masyarakat dan anak-anak Badui. Atas sikap nekadnya itu, ia sempat ditolak berkali-kali bahkan diusir karena dianggap telah menodai adat istiadat Badui. Namun, hal itu terus dilakukannya dengan semangat. Ia bahkan berkeliling mengajar di 60 kampung Badui dengan menempuh jarak puluhan kilometer tanpa dibayar.

 

Upaya sepenuh hati Ai Dewi bukan maksud untuk tidak menghiraukan hukum adat Suku Badui, namun peraturan adat tersebut berusaha ia sikapi dengan berbagai cara agar mereka tetap mau belajar. Di antaranya ia lakukan dengan sembunyi-sembunyi karena pendidikan formal di mata mereka melanggar hukum adat. Mereka sangat tidak mengizinkan ada pembelajaran di Badui. 

 

Istri dari seorang dai pedalaman bernama Ahmad Hidayat ini mengungkapkan, pada dasarnya mereka memiliki kecerdasan, tetapi tidak dibolehkan untuk sekolah karena dilarang oleh hukum adat. Ia terus memberikan pendidikan untuk masyarakat Badui meskipun ada pelarangan secara adat. 

 

“Ini bukan semata keinginan dan hasrat hati saya pribadi, tetapi demi kepentingan bangsa juga agar mereka lebih cerdas,” tutur Ai Dewi.

 

Strategi mengajar di pedalaman Badui
Berbagai cara ia lakukan untuk menyikapi larangan adat tersebut. Meskipun ia belum pernah mengecap pendidikan sarjana pendidikan, bakat alam mendidiknya terasah selama berpuluh-puluh tahun ketika dirinya pertama kali mengabdi sebagai guru honorer di MI Masyarikul Huda.

 

Strategi yang Ai terapkan dalam mendidik Suku Badui justru berangkat dari larangan hukum adat tersebut. Ia berusaha mengalir mengikuti langkah dan aktivitas sehari-hari masyarakat Badui. Seperti ia bergabung ke dalam layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat semisal posyandu maupun ‘nongkrongin’ warga Badui setelah mereka selesai mencari kayu bakar di hutan.

 

Misal dalam posyandu memberikan layanan kesehatan berupa imunisasi kepada anak. Ia memberikan pemahaman terkait imunisasi dengan menuliskan ejaan-ejaan yang ada di dalamnya. Beberapa warga ia pahamkan dengan menulis kata imunisasi sehingga secara tidak langsung, ia memberikan pelayanan pendidikan berupa baca dan tulis di dalam kegiatan yang diikuti oleh warga Badui.

 

“Saya dan beberapa teman berusaha menyatu dengan mereka untuk mengajarkan baca dan tulis ketika mereka mendapat layanan kesehatan. Pertama ketika mereka mengisi KMS (kartu menuju sehat). Kita jelaskan ke mereka KMS itu apa dan bagaimana menuliskannya. Itu lebih bisa mereka terima,” terang Ai Dewi.

 

Dengan metode menyatu dengan kegiatan-kegiatan lain yang diikuti oleh warga Badui, mereka tidak merasa bahwa hal itu merupakan proses pendidikan yang selama ini dilarang oleh hukum adat mereka. Strategi ini dilakukan Ai Dewi sehingga masyarakat pun melek huruf dan bisa membaca. Setelah beberapa lama, warga pun menyadari keberadaaan layanan pendidikan yang dilakukan oleh Ai Dewi memberikan manfaat dengan memberikan pemahaman tulis dan baca secara tidak langsung.

 

Selain strategi menyatu dengan warga lewat sejumlah pelayanan, Ai Dewi juga memberikan layanan pendidikannya di pinggir-pinggir jalan ketika warga Badui melakukan aktivitas di tengah hutan. Ia sering ‘nongkrongin’ mereka ketika terlihat dari jauh mereka hendak pulang setelah mencari kayu bakar di hutan.

 

“Langkah awal saya mengajak dia untuk istirahat sejenak. Dalam istirahat itu kita belajar tulis dan membaca. Cara seperti itu juga lebih mereka terima karena tidak dilakukan secara formal,” terangnya.

 

Strategi Ai Dewi yang didasarkan pada pelarangan hukum adat tersebut berjalan cukup efektif untuk memberikan pendidikan di kalangan mereka secara tidak langsung. Perlahan-lahan, masyarakat Badui Luar bisa membaca dan menulis sehingga mereka juga mampu memahami dunia luar dan perkembangan zaman.

 

Memberantas buta huruf
Ketika memutuskan mengabdi di Suku Badui Luar, Ai Dewi menyadari bahwa perjuangannya tidak akan maksimal ketika hanya memberikan layanan pendidikan di sektor formal tanpa memberikan perhatian di sektor nonformal. Di sektor yang merambah warga dan anak-anak putus sekolah, ia memberikan layanan khusus. Bahkan bisa dikatakan sepanjang hari ia habiskan waktu untuk mengajar.

 

Di sektor nonformal tersebut, ia bertekad memberantas buta huruf pada orang tua dan anak-anak putus sekolah. Baginya, mengajar adalah pengabdian yang akan ia jalani sampai kapan pun. Pemberantasan buta huruf juga ia berikan untuk bapak-bapak dan remaja putri yang belum merasakan pendidikan. 

 

“Itu di luar Desa Kanekes yang jaraknya sekitar 2 kilometer, ada dua kelompok dan pembelajarannya malam. Saya berangkat setelah maghrib, pembelajaran dilaksanakan jam 7 malam hingga 11 malam. Saya sampai rumah jam 12 malam karena jaraknya jauh dan harus jalan kaki,” jelas Ai.

 

Untuk menunjang layanan pendidikan nonformal yang dilaksanakannya itu, Ai menyisihkan sebagian gajinya sebagai guru honorer untuk membeli perlengkapan belajar warga. Saat itu, ia mendapat honor Rp550.000 selama satu bulan. Rinciannya, Rp 400.000 ia dapat dari mengajar di MI dan Rp150.000 ia dapatkan dari mengajar di Madrasah Tsanawiyah.

 

“Tanpa menyediakan perlengkapan belajar, warga tidak mau belajar. Makanya kita harus menyediakan semuanya agar mereka mau belajar,” ucap Ai Dewi.

 

Pendidikan nonformal ini dijalankan oleh Ai dengan tidak mengenal lelah. Medan perjalanan yang tidak mudah tidak menjadi penghalang bagi dia untuk memberikan pencerdasan kepada masyarakat Badui. Bahkan tidak jarang pakaian yang ia kenakan berselimutkan lumpur saat kebetulan turun hujan.

 

Energi berlipatnya itu ia dapatkan sejak awal memutuskan mengabdi untuk masyarakat Suku Badui. Ia tahu sebelumnya ada bolak-balik guru, tetapi mereka hanya bertahan beberapa bulan hingga satu tahun saja karena tidak betah. Pertama kali ia datang mengajar ada sekitar 40 murid di sektor formal. Sekian murid tersebut tidak mendapatkan layanan pendidikan seperti pada umumnya karena ketiadaan guru.

 

Pertama kali Ai datang di perkampungan Badui tahun 1992 silam, tidak sedikit anak di sana yang tidak bisa berbahasa Indonesia bahkan tidak bisa baca dan tulis. Waktu itu Ai yang masih belum berkeluarga langsung mengajar di MI. Saat itulah ia bertemu seorang dai bernama Ahmad Hidayat yang juga sedang mengabdi di Suku Badui. Dalam waktu tiga hari, mereka memutuskan langsung menikah. 

 

Ia memutuskan langsung menikah agar tidak timbul fitnah. Karena selain tidak berani sendirian selama berada di kampung Badui, keberadaan pendamping sangat penting untuk menunjang segala pengabdiannya itu. “Lelaki yang saat ini menjadi suami saya sudah lebih dulu mengabdi selama tiga bulan. Karena sama-sama masih single takut timbul fitnah, akhirnya kami memutuskan untuk menikah,” katanya.

 

Diceritakan Ai, ketika berada di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, Ai Dewi tidak mengenali nama lengkap calon suaminya. Ia mengakui karena belum sempat kenalan. Namun setelah setelah menikah mereka semakin giat untuk memberikan pendidikan untuk suku Badui Luar.

 

Mengabdi tanpa dibayar
Menjadi guru honorer selama berpuluh-puluh tahun, Ai mengakui tidak dibayar karena memang pengabdiannya di kampung Badui juga atas keinginan pribadinya. Ia dibayar pertama kali pada 2006 ketika sudah masuk dana biaya operasional sekolah (BOS). Bahkan saat perbekalan di sana habis, ia dan suaminya makan daun singkong. “Kami memakan daun singkong selama 10 hari saat itu,” ujar Ai.

 

Selain berbagai pengalaman lain, dalam menjalani pengabdiannya ini, ia sering dikejar oleh binatang liar, yaitu anjing. Dari kampung ke kampung dalam menjalani layanan pendidikan nonformalnya, ia harus menyusuri jarak 3 kilometer dari satu kampung ke kampung lainnya. 

 

Dalam perjalanan tersebut, kalau satu anjing sudah melolong, anjing yang lainnya dari kampung-kampung berkumpul. Dia dan temannya pernah dikejar oleh anjing sampai terpaksa nyemplung ke sungai. “Saya sudah berpikir meninggal saja waktu itu,” ungkap Ai.

 

Pengabdian dan perjuangan Ai ini akhirnya mendapat perhatian penuh dari masyarakat sekitar selain para pemangku kebijakan. Menurut Ketua RT Kampung Cicakal Empang Suparta, Ai Dewi merupakan sosok perempuan yang sabar, baik, jujur, dan tidak pernah mengeluh meskipun banyak kendala yang mengiringi langkahnya.

 

“Tetapi ia jalan terus. Alhamdulillah, Bu Ai bertahan di Kampung Cicakal ini. Banyak perubahan dan kemajuan yang telah ia perbuat untuk masyarakat Badui,” ujar Empang Suparta.

 

Banjir penghargaan
Selain perjuangan yang tak kenal lelah memberikan layanan pendidikan untuk Suku Badui Luar, Ai Dewi juga memimpin Madrasah Tsanawiyah (MTs) Alam Wiwitan Lebak, Banten sebagai kepala madrasah. Di madrasah yang dipimpinnya ini, Ai terus berkomitmen memberikan kemudahan layanan pendidikan bagi anak-anak Suku Badui.

 

Pengabdiannya berhasil menebarkan inspirasi bagi para pendidik di tanah air sehingga ia mendapat sejumlah penghargaan nasional. Penghargaan ini ia dedikasikan kepada seluruh pendidik di tanah air agar terus berjuang mencerdaskan generasi bangsa apapun kendalanya.

 

Pada tahun 2014, ia mendapatkan penghargaan dari MNCTV yang dinilai menjadi pahlawan untuk Indonesia sebagai tenaga pengajar di Suku Badui di bidang Pembelajaran Formal dan Non-Formal. 

 

Perempuan yang juga punya pengalaman sebagai pengajar sukuan di Rangkasbitung, Banten ini juga mendapat penghargaan dari Kick Andy pada tahun 2014 sebagai guru di daerah terpencil dengan mendapat apresiasi sebesar Rp50.000.000. Baginya, apresiasi berupa materi kala itu semakin menguatkan perjuangannya di dunia pendidikan yang sedang digelutinya.

 

Selain itu, penghargaan sebagai wanita inspiratif juga ia dapatkan pada tahun 2015 dari ormas Gernita. Pada tahun yang sama, ia juga mendapat penghargaan dari Tupperware sebagai wanita inspiratif di bidang pendidikan.

 

Ai Dewi juga mendapat penghargaan khusus dari Bupati Lebak Iti Octavia pada tahun 2017 lalu sebagai pegiat pendidikan daerah terpencil. Saat memberikan penghargaan, Bupati sangat mengapresiasi perjuangan Ai dan teman-teman seperjuangannya untuk melakukan pelayanan pendidikan yang tidak semua guru mau melakukannya.

 

”Mereka bekerja tanpa pamrih dan tak kenal lelah dalam mendidik putra-putri kita agar menjadi orang yang berguna. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi agar bisa terus membagi ilmunya. Ini harus menjadi cambuk bagi kita dan khususnya para guru PNS yang telah menerima gaji cukup memadai dari pemerintah,” ujar Bupati Iti saat memberikan penghargaan pada Mei 2017 lalu.

 

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Zunus Muhammad

 

==================

Artikel ini diterbitkan dalam rangka Peringatan Hari Guru 25 November bertema "Berinovasi Mendidik Generasi" oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.