Opini

Metaverse, Peluang dan Tantangan bagi Guru Madrasah

Rab, 16 November 2022 | 20:09 WIB

Metaverse, Peluang dan Tantangan bagi Guru Madrasah

Ilustrasi metaverse. (Foto: Freepik)

Pada pekan keempat bulan Mei lalu tepatnya tanggal 18-20 tahun 2022 ini, Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI) menggelar kegiatan International Symposium On Education (ISOE) sebagai acara rutin tahunan. Pada momentum kegiatan sebagai bagian peringatan Hari Pendidikan Nasional itu, Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah secara khusus memperkenalkan tentang  pembelajaran metaverse kepada guru madrasah.


Saat itu, Menag RI, Yaqut Cholil Qoumas menyinggung tentang urgensi pemanfaatan teknologi sebagai sarana untuk menunjang pembelajaran oleh guru untuk siswa. Di antaranya terkait pengalaman metaverse sebagai bagian dari perkembangan teknologi saat ini. Tentu saja hal ini langkah yang penting, sebab jika melihat perkembangan teknologi yang sangat pesat. Dunia pendidikan perlu bersiap menghadapi era metaverse yang akan melahirkan berbagai teknologi baru yang mengubah ekosistem pendidikan dan pembelajaran manusia.


Benarkah dunia metaverse ini penting untuk dipelajari oleh guru madrasah? Dan seberapa jauh "dunia alam digital" ini mendekat? Jawabannya, tidak jauh, bahkan dunia metaverse sudah mendekat dengan sangat dekat. 


Minecraft bukti dekatnya dunia metaverse

Realitas perkembangan ini saya rasakan sendiri. Saya adalah seorang ibu dari anak umur 7 tahun bernama Apta Hamam Ubaidulhaq, yang pendidikannya bukan di sekolah formal, tapi di sekolah informal. Secara usia, sebenarnya anak saya masuk kelas satu sekolah dasar, namun sebagai orang tua kami (saya dan suami) memilih untuk mengemban tugas pendidikan anak kami di tangan kami sendiri tanpa menitipkannya ke sekolah. Kalau istilah terkenalnya sih "homeschooling" namun kami lebih suka menyebutnya dengan proses "belajar mandiri" dengan visi bagaimana menyiapkan Mas Apta menjadi "pembelajar mandiri". 


Pada proses menjadikan pembelajar mandiri inilah, kami tentunya memiliki peran tidak hanya sebagai orang tua tapi juga sebagai guru yang tidak hanya bertugas mengajar, mendidik tapi juga mengasuh yang saat perjalanannya menemukan tantangan serta peluang dari pemanfaatan teknologi dalam pendidikan. Di antaranya terkait teknologi berbasis metaverse. Mas Apta sangat menikmati belajar melalui Minecraft salah satu games online berbasis metaverse yang di dalamnya tidak hanya menuntut anak menguasai teknik berhitung tapi juga membaca dan juga bahasa. 


Dengan Minecraft, Mas Apta yang awalnya tidak bisa membaca akhirnya bisa membaca karena tertuntut adanya intruksi berupa bacaan pada permainan ini (tentunya dengan tuntunan dan bantuan kami). Dengan game berbentuk balok-balok seperti lego ini Mas Apta juga bisa berhitung karena di dalamnya menuntut anak untuk paham hitungan ketika ingin membangun rumah, kolam renang atau apa saja yang ingin dibuat.


Sejatinya Minecraft adalah sandbox game, bisa dimainkan sendirian maupun multiplayer. Saking terkenalnya Minecraft di kalangan anak-anak, saat ini para guru (educator) terutama di luar negeri sudah banyak yang menggunakan Minecraft sebagai media belajar di kelas. 


Misalnya, di Swedia, dikutip dari dailysocial.id, sebuah sekolah bernama Viktor Rydberg memasukkan permainan Minecraft sebagai mata pelajaran wajib bagi siswa berusia 13 tahun. Mereka belajar  tentang perencanaan kota, isu lingkungan hidup, bagaimana menyelesaikan pekerjaan, bahkan mereka juga belajar bagaimana melakukan perencanaan untuk masa depan.


Di Indonesia, ada salah satu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) bernama Piwulang Becik di Salatiga yang sudah memasukkan kurikulum Minecraft ini sebagai salah satu mata pelajaran khusus untuk anak usia sekolah yang disampaikan secara daring. Bahkan, mata pelajaran ini menjadi salah satu jadwal yang dinanti oleh peserta didik. Terbukti, saat disajikan melalui online peserta kelasnya membludak. Sementara, dari penelusuran literatur, saya belum mendapat informasi ada guru madrasah yang menggunakan game besutan Markus Persson ini sebagai bagian inovasi pembelajaran mereka. 


Mau Belajar atau Bermain? Pertanyaan ini yang mungkin terdetik pada orang tua bahkan para guru yang masih berpikir bahwa proses belajar harus dilakukan dengan tatap muka agar terbangun intensifitas dan bonding. Namun, yang perlu diingat,  saat ini adalah abad 21, guru dituntut menemukan cara yang efektif untuk menyampaikan materi dengan baik kepada peserta didiknya. Saat ini sudah banyak pendidik di lebih dari 150 negara menggunakan Minecraft sebagai kurikulum wajibnya, sementara di ndonesia bisa dibilang sangat kecil sekali pengajar yang memanfaatkan Minecraft untuk pembelajaran di kelas baik untuk menjelaskan masalah terkait matematika, bahasa, fisika bahkan juga untuk peserta didik belajar coding sejak dini. 


Minecraft adalah salah satu dunia metaverse yang saat ini menjadi realitas serta melingkupi lingkungan generasi saat ini. Coba saja tanya anak-anak usia sekolah, mereka dipastikan tahu dengan permainan yang di dalamnya terdapat dunia creative dan survival ini. Lalu, bagaimana guru madrasah bisa menyeimbangkan perkembangan teknologi dengan potensi mereka? Ini yang menjadi tantangan dan perlu dipikirkan bersama.   


Guru madrasah perlu bersiap 

Guru dan tenaga kependidikan madrasah  perlu untuk terus berupaya meningkatkan kompetensi mereka tidak hanya dalam konteks peningkatan literasi, tetapi juga merespon perkembangan teknologi system informasi, yang mengarah pada pembelajaran metaverse. Sehingga, mereka tidak cukup hanya melek literasi saja, tetapi juga harus menjadi pioneer sistem informasi dan teknologinya. 


Sehubungan dengan hal ini, Rinda Fauzan, seorang guru madrasah di Madrasah Tsanawiyah Pengandaran menelaah tentang implementasi metaverse sebagai sarana pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Dari hasil penelitian yang diterbitkan dalam www.jurnalmadaris.org itu diketahui teknologi metaverse dalam bentuk Augmented Reality (AR) pada mata pelajaran SKI tidak hanya membuat peserta didik learning to know tapi juga learning to love live together.

 

Menurutnya, teknologi metaverse dalam bentuk AR, bisa menjadi peluang meningkatkan mutu pendidikan, meningkatkan motivasi dan literasi media siswa serta menjadi bagian pembekalan bagi peserta didik menuju peradaban baru. 


Untuk itu, sepatutnya guru madrasah senantiasa membekali diri dengan attitude (moral), skill (kemampuan), dan knowledge (pengetahuan) dalam bentuk hard skills maupun soft skills yang komprehensif sehingga menjadikan sosok guru yang expert sesuai bidang keilmuannya. Langkah Kemenag menggalakkan program transformasi digital di seluruh madrasah patut diacungi jempol karena memberikan dukungan yang terbaik terhadap peningkatan kompetensi dan penguasaan literasi digital para guru-guru. 


Secara bertahap, madrasah perlu menyediakan perangkat device berupa laptop, VR dan local generator sebagai langkah persiapan menuju Metaverse. Akhirnya, semoga harapan Menag RI, Gus Yaqut agar generasi masa depan tidak lambat mengadopsi teknologi untuk menghindari learning loss bisa menjadi kenyataan. Karena sejatinya masalah terbesar dunia manusia saat ini tidaklah hanya mereka yang tidak bisa membaca aksara (buta huruf) tapi juga mereka yang tidak bisa menggunakan teknologi (buta teknologi).


Penulis: Nidlomatum MR

Editor: Fathoni Ahmad

 

====================

Artikel ini diterbitkan dalam rangka Peringatan Hari Guru 25 November bertema "Berinovasi Mendidik Generasi" oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI