Akademisi Kritik Lambatnya Revitalisasi Sistem Hukum Adat untuk Libatkan Masyarakat Adat dalam Perumusan Kebijakan
Selasa, 23 Januari 2024 | 22:30 WIB
Haekal Attar
Kontributor
Jakarta, NU Online
Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tantan Hermansyah mengkritik lambatnya penanganan pemerintah dalam merevitalisasi pemahaman terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dalam sistem hukum modern.
Hal tersebut diungkapkan Tantan sebagai respons atas tema Masyarakat Adat dan Desa yang dibahas dalam debat calon wakil presiden (cawapres) di Jakarta Convention Center (JCC), pada Ahad (21/1/2024) lalu.
"Pada praktiknya masih sangat jauh. Hukum modern yang bias kota dan bias pemerintah yang berkuasa, jauh lebih besar berperan dan berfungsi pada kehidupan masyarakat ketimbang hukum masyarakat adat," kata Tantan kepada NU Online, Selasa (1/23/2024).
Menurut Tantan, inisiatif peremajaan atau rejuvinasi pemaknaan terhadap keterlibatan masyarakat adat harus diajukan, yaitu dengan melibatkan kelompok masyarakat adat secara aktif dan progresif dalam proses perumusan kebijakan.
"Masyarakat adat itu adalah entitas yang mungkin berdiri jauh lebih lama dari NKRI. Tapi mereka tidak pernah menggangu sistem dan tata kelola negara, lalu mengapa mereka harus dimarjinalkan dan dipinggirkan?" kata Tantan mempertanyakan.
Tantan mengatakan bahwa Undang-Undang (UU) harus dapat memberikan dasar hukum bagi pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Tetapi menurut Tantan, peran hukum modern yang lebih dominan dan pemerintah yang berkuasa cenderung memiliki pengaruh yang lebih besar daripada hukum adat.
"Bagaimana pola serta pengaturan kebijakannya itu bisa dibicarakan dilingkungan pemangkuu kebijakan yang tentu secara aktif dan progresif melibatkan kelompok-kelompok masyakarat adat ini," jelas Dosen Ekologi Manusia di UIN Jakarta itu.
Ia mengatakan, masyarakat adat bukanlah kelompok apatis. Ia bersikukuh bahwa mereka memiliki keinginan untuk menjalankan sistem adat yang diyakini sesuai bingkai NKRI. Hal demikian penting untuk menciptakan ruang bagi partisipasi mereka dalam proses kebijakan untuk menghormati eksistensi, peran, dan fungsi hukum adat.
"Kalau tidak salah, Bung Karno pernah mengatakan bahwa nasional itu dipilari, disembah, ditahan, (dan) ditopang oleh hukum-hukum yang jalan di daerah itu sebagai sebuah bentuk penghormatan nyata terhadap ekstitensi peran dan fungsi hukum adat," katanya.
Karena itu, lanjut Tantan, perlu upaya serius untuk mengembalikan marwah dan penghormatan terhadap masyarakat adat. Pemerintah dan pemangku kebijakan perlu menjalin dialog aktif dengan mereka, serta memastikan kebijakan yang dihasilkan tidak hanya sesuai dengan hukum modern tetapi juga memperhatikan keberlanjutan dan hak-hak masyarakat adat.
"Proses marjinalisasi itu mengakibatkan hukum atau masyarakat adat itu tidak dihormati maka yang perlu dilakukan hari ini adalah mengembalikan marwah dan kerhormatan mereka pada sistem kehidupan dan kebudayaan nasional," terang Tantan.
Terpopuler
1
Kronologi Penembakan terhadap Guru Madin di Jepara Versi Korban
2
Silampari: Gerbang Harapan dan Gotong Royong di Musi Rawas
3
Sejarah Baru Pagar Nusa di Musi Rawas: Gus Nabil Inisiasi Padepokan, Ketua PCNU Hibahkan Tanah
4
Hukum Mengonsumsi Makanan Tanpa Label Halal
5
NU Peduli Salurkan Bantuan Sembako kepada Pengungsi Erupsi Lewotobi
6
Kekompakan Nahdliyin Inggris Harus Terus Dijaga
Terkini
Lihat Semua