Opini INTERNATIONAL SUMMIT OF MODERATE ISLAMIC LEADERS (2)

Kajian Penerapan Adat pada Masyarakat Muslim Indonesia

Sel, 3 Mei 2016 | 06:34 WIB

Oleh Siti Rahmawati
Konflik perdata di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data Mahkamah Agung tahun 2011, sengketa perkawinan mencapai 504 atau 75,22 persen,  waris 20 persen, hibah 1, 79 persen, wakaf  0,30 persen, dan istbat nikah 0,30 persen. Dari data tersebut sengketa perkawinan menduduki jumlah terbanyak, hal ini didukung oleh hasil penelitian bahwa konflik terbanyak terjadi dalam perkawinan. Oleh karena itu, manajemen konflik yang tepat diperlukan dalam menjawab permasalahan ini. Resolusi konflik yang tepat mengantarkan pada hubungan sukses sebaliknya resolusi konflik yang gagal berakibat putusanya hubungan (Felicia Ohwovoriole: 2011). 

Secara teoritis, penyelesaian konflik atau sengketa dapat diperoleh dari dua proses, pertama proses litigasi dalam pengadilan, kedua proses non-litigasi yang dilaksanakan di luar pengadilan. Pada tataran praktik, non-litigasi dewasa ini diperankan oleh lembaga-lembaga adat dengan hukum adatnya. 

Terdapat dua pandangan teoritis pihak yang bersengketa memilih menyelesaikan sengketa melalui negosiasi adat (Hifdhotul Munawaroh: 2015). Pertama, pandangan yang merujuk pada kebudayaan sebagai faktor dominan, cara penyelesaian melalui konsensus atau mufakat dapat diterima dan digunakan oleh masyarakat, karena pendekatan itu cocok dengan cara pandang kehidupan masyarakat. Masyarakat mewarisi tradisi kebudayaan yang menekankan nilai keharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan. Kedua, peradilan adat lebih mudah untuk diakses, cepat, murah dan fleksibel. Selaras dengan itu, fokus peradilan adat berusaha melakukan rekonsiliasi dalam menyelesaikan konflik atau sengketa (R.Udphzrun dan Kehinde A Bolaji). Karena pentingnya nilai adat ini, sehingga Simon Fisher mengaskan bahwa untuk menangani konflik secara efektif perlu memahami nilai-nilai sosial, norma-norma, praktik-praktik yang dapat diterima oleh pihak yang terlibat dalam situasi dan lembaga tertentu.

Eksistensi lembaga adat sebagai media resolusi konflik telah dipraktikkan di belahan dunia, termasuk di negara Islam. G.H Bousqet menemukan bahwa Tunisia mengadopsi hukum adat dalam menyelesaikan kasus hak atas tanah dan pengelolaan wakaf. Begitu juga di Libya melegalkan hukum adat sebagai media rekonsiliasi dalam kasus pembunuhan suku Tibawi untuk mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, hal ini juga di praktikkan di Afganistan, hukum adat digunakan dalam menyelesaikan kasus pada daerah-daerah tertentu. Sedangkan di Indonesia menggunakan lembaga adat sebagai media resolusi atas konflik pidana maupun perdata. Hal ini terlihat pada masyarakat etnis dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa pada wilayah masing-masing daerah. Penyelesaian konflik di daerah-daerah masih disandarkan pada hukum adat. Hukum adat lahir sebagai warisan interaksi masyarakat terdahulu (leluhur) yang berfungsi sebagi pranata sosial dan masih dipraktikkan oleh masyarakat. Baik masyarakat yang belum menerima Islam maupun masyarakat yang telah menerima Islam sebagai kepercayaan dan penuntun dalam melaksanakan ibadah ritual masyarakat. 

Masyarakat adat Aceh menggunakan lembaga adat gampong dalam menyelesaikan konflik perkawinan, masyarakat adat angkola di Medan mengenal istilah dalihannatolu yang memiliki wewenang masing-masing, terdiri dari mora (legislatif), anakboru (eksekutif) dan k-ahanggi (yudikatif). Ketiga institusi tersebut berpadu dalam menyelesaikan konflik-konflik termasuk konflik perkawinan, hal ini juga terjadi pada masyarakat (bugis) yang berpegang pada konsep pangangderreng (undang-undang sosial) terdiri unsur adeq (adat-istiadat) dan saraq (syariat Islam). Pampawaadeq dipangku raja sekaligus mengatur roda pemerintahan, sementara pampawasaraq dipangku kadi, imam, khatib, bilal dan doja (penjaga masjid) menangani persoalan yang berhubungan dengan fiqih Islam (Ismail Suardi Wekke). Perpaduan keduanya terlihat dalam penyelesaian kasus kesusilaan (malaweng) di Sulawesi Selatan. Pada situasi yang sama, masyarakat adat Tolaki di Sulawesi Tenggara mengunakan adat Tolaki dalam menyelesaikan sengketa.

Peran adat tersebut jika dikaji lebih jauh sesungguhnya memberi gambaran posisi adat (kultur) dalam menyelesaikan masalah (konflik), mendapat porsi besar di masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari pandangan bahwa peradilan adat memiliki falsafah yang dianggap lebih cocok dengan masyarakat adat atau komunitas lokal. Norma-norma adat memiliki kekuatan dalam membentuk pola prilaku masyarakat.

Perdamaian Persfektif Islam
Teori perdamaian menurut Islam bermakna keadilan.  Keadilan didasarkan atas persamaan hak dan kesempatan bagi manusia untuk mencapai pemenuhan dan mengatasi penindasan. Peneliti perdamaian Islam seperti Qamarul Huda mengartikan perdamaian tidak hanya berhentinya perang, namun lebih bermakna harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan, di mana manusia mempertahankan hubungan yang sehat antara dirinya dengan Tuhannya.

Perbedaan dan pertentangan dalam hubungan manusia merupakan natural law (hukum alam), karena Allah menciptakan manusia dengan keragaman warna kulit, ras, bahasa, budaya, pola pikir dan perbedaan kepentingan. Namun demikian, dinamika masyarakat Islam dapat dipersatukan setidaknya dengan lima prinsip dasar.

Pertama, kesatuan (unity), memadukan keseluruhan aspek-aspek manusia, horizontal maupun vertikal. Kedua, keseimbangan (equilibrum), menggambarkan dimensi horisontal ajaran Islam yang berhubungan pada keseluruhan harmoni pada alam semesta. Ketiga, Kehendak bebas (ikhtiyar), manusia diberikan kebebasan dalam melakukan transaksi atau perjanjian. Keempat, pertanggungjawaban, untuk memenuhi keadilan dan kesatuan diperlukan sikap tanggung jawab pada jiwa dan raga, person dan keluarga, individu dan sosial, antara suatu mayarakat dengan masyarakat lain. Kelima kebenaran (kebajikan dan kejujuran). Kebajikan merupakan tindakan yang dapat memberikan keuntungan bagi orang lain. 

Prinsip-prinsip tersebut menurut Alwi Syhab dapat dilaksanakan dengan sikap toleransi dan pluralisme. Toleransi merupakan upaya menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan, sedangkan pluralisme dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kemajemukan, tidak menonjolkan keunggulan-keunggulan dan merasa paling benar kepada pihak lain. Jika ajaran agama diletakan dalam peta kebudayaan, krisis dan konflik yang bermula dari masalah sosial, ekonomi politik maupun keagamaan dapat diuraikan jalan penyelesaiannya. Hal ini senada dengan makna jihad dalam tubuh spiritual Islam, yakni pertempuran batin, melawan kejahatan fikiran dan keinginan terhadap konflik. Dengan demikian, dalam teori perdamaian Islam, konflik dapat diselesaikan jika difokuskan pada moralitas, pluralisme budaya, solidaritas komunal, keadilan sosial dan iman (Uzma Rehman: 2016).

Islam bersifat universal dan mengakomodasi praktik-praktik empiris di masyarakat. Prakatik empiris masyarakat terdiri dari prilaku (model for) menjadi refleksi (model of) dari sistem kepercayaan (system of beliefe), maka ketika terjadi konflik harus kembali pada nilai-nilai primordialistik yang menjadi sistem kepercayaan (system of beliefe). Contohnya, masyarakat Madura mengenal istilah carok dalam membela kehormatan, masyarakat berpegang pada falsafah (ango’a poteya tolang atembang poteya mata) dari pada hidup menanggung malu lebih baik mati membela kehormatan. Jika terjadi konflik terkait kehormatan, maka resolusi konflik yang tepat harus kembali pada nilai-nilai primordialistik masyarakat madura (Thoha Hamim: 2007). Bagi masyarakat adat, penyelesaian konflik secara kekeluargaan merupakan pilahan yang tepat, penyelesaian konflik atau sengketa melalui adat dilaksanakan dengan tujuan mendamaikan kedua bela pihak, masyarakat lebih patuh dan memahami arti dan makna-makna adat dalam kehidupannya.

Adat memiliki sinkronisasi dengan agama Islam, Islam secara terminologis bermakna penyerahan diri, perdamaian dan keselamatan. Oleh karena itu, Islam tidak hanya sebuah agama  tetapi ia juga terwujud sebagai sebuah peradaban (civilicatioan).

Perdebatan Teoritik; Peran Adat dan Agama sebagai Pranata Sosial
Peran dan keberhasilan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa di masyarakat menunjukkan efektifitas dari mekanisme-mekansime pengaturan masyarakat (self regulation) yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order). Kendati demikian, mengkaji penerapan adat di Indonesia seiring berkembangnya Islam menghasilkan pemikiran yang beragam. Teori receptie yang dicetuskan oleh Cornelis Van Vallenhoven menganggap bahwa hukum adat berlaku setelah diresepsi atau diterima oleh hukum adat. Sedangkan Sayyed Husein Nasr mengatakan bahwa pada tataran teori, syariah (divine law) datang untuk mengatur dan menuntun masyarakat bukan sebaliknya. Manusia tidak berubah secara hakiki, meskipun terdapat perbedaan dari masa Muhammad, naik turunya tetap sama karena itu formulasi syariah tidak membutuhkan pengembangan. 
Sayyed Hossein Naser hendak menegaskan kembali bahwa agama berfungsi sebagai sistem nilai yang memuat norma tertentu. Norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Pranata sosial masyarakat bagaimana pun bentuknya harus kembali kepada hasil ijtihad ulama-ulama terdahulu.

Abdurrahman Wahid mempunyai pandangan yang berbeda, bahwa adat-istiadat adalah seni hidup (the art of living), mengandung tatanan masyarakat yang patut dipertahankan, masuknya Islam di Indonesia melalui adat dan budaya bukan melalui ekspansi sebagaimana di dunia Arab. Adat istiadat adalah unsur utama sebuah pergaulan sosial, sebuah masyarakat betapa pun sederhananya memiliki nilai-nilai dan norma-norma, norma tersebut terwujud dalam praktik sosial masyarakat. Melihat pergulatan pemikiran-peikiran tersebut, kiranya perlu mengulas kembali, bahwa sejak awal perkembangan Islam sebagai konspesi realitas telah menerima akomodasi sosio-kultural. Meski pada sisi teoritis doktrin Islam seolah berbeda dengan realitas, namun dalam aplikasinya Islam mengakomodasi kenyataan sosial budaya, sebagaimana ahli fiqih mempertibangkan faktor-faktor sosial dalam penetapan hukum pada periode awal Islam.

Kondisi sosial yang diperhadapkan dengan Islam akhirnya menghasilkan apa yang disebut oleh Azyumradi Azra sebagai “varian Islam”, maksudnya Islam dengan berbagai corak dan jenisnya. Terkait dengan itu, asumsi mengenai dogma dan realitas masyarakat yang dipandang sebagai konflik harus diarahkan pada sikap moderat dan toleransi terhadap kondisi dan realitas masyarakat yang terus berkembang.

Masyarakat sebagai pelaku budaya tidak hanya mempertahankan aspek budaya yang pernah dicapai dengan segala dimensinya, namun harus berusaha menghidupkan Islam dengan nilai-nilai ajarannya ke dalam budaya tersebut. Islam universal dan dinamis, tetap memberikan ruang yang cukup pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan penemuan-penemuan baru lainnya. Inilah yang dimaksud “moderenizing society”, yakni masyarakat yang mulai mengatur masa depannya, tetapi belum meninggalkan masa lalunya.

Pemikiran ini juga terpancar pada pemahaman terhadap agama, ada yang memandang bahwa agama adalah alat konservatis dan mempertahankan tradisi ada pula yang berpandangan secara aplogetik bahwa agama adalah pendorong kemajuan. Hooker menjelaskan bahwa Islam mempunyai nilai akomodatif terhadap pranata sosial seperti hukum adat tidak saling menyisihkan dan berlaku sejajar pada masyarakat adat Indonesia. Bahkan Syaukani menjelaskan dalam teori interdependensi bahwa semua sistem hukum tidak berdiri sendiri, pembentukannya selalu berinteraksi dengan sistem hukum lainnya. 

Lebih jauh, Jalal al-Din ‘Abd Al-Rahman menjelaskan bahwa adat (‘urf) mempunyai tempat dalam hukum Islam sebagai sumber pengambilan hukum selama tidak bertentangan Al-Qur’an dan Hadits. ‘urf atau ‘adah dapat dihubungkan dengan term hadits dan sunah (tradisi nabi), para ahli hukum Islam memegang prinsip umum bahwa suatu yang dikatakan, diperbuat atau ditetapkan oleh nabi akan membentuk apa yang dikenal dengan sunah, sumber kedua setelah Al-Qur’an. Jadi ‘adah pada masa nabi dapat dipandang sebagai suatu sumber untuk menformulasikan hukum-hukum. Hakikatnya norma-norma agama itu tidak mempunyai korelasi dengan modornisasi maupun tradisionalisme sebab agama mempunyai dimensi yang tidak selalu dapat diukur dengan dimensi modernisasi maupun tradisionalisme.

Sebuah Refleksi
Berdasarkan teori-teori yang telah di paparkan, penulis berasumsi bahwa tedapat relevansi antara hukum adat sebagai media resolusi konflik dengan hukum Islam. Nilai-nilai Islam dan hukum adat mengajarkan manusia untuk hidup rukun, menjunjung tinggi nilai persaudaraan, persatuan dan kesatuan. Konflik dalam skala yang besar atau dalam skala yang kecil diselesaikan melalui rekonsiliasi (islah).

Konflik tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial. Masyarakat adat berpegang kepada hukum adat sebagai alat pemersatu untuk pertentangan konseptual dan sosial. Meski ilmuwan mazhab struktural beranggapan bahwa adat (culture) berperan sebatas pemicu konflik, sebab masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi bisa hidup berdampingan sepanjang diikat oleh manajemen konflik yang baik. Oleh karenanya penyelesaian konflik harus diarahkan pada perbaikan struktur sosial bukan pada adat.

Praktik masyarakat adat dalam menyelesaikan konflik  mempunyai relevansi dengan nilai-nilai Islam ketika bersentuhan dengan hukum adat, khusunya mengenai penyelesaian konflik. Lebih jauh, gambaran yang kongkrit keterkaitan antara pranata sosial masyarakat dengan agama dipahami dari tulisan Clifford Geertz mengenai kelompok masyarakat abangan, santri dan priyayi. Meski kemudian Mark Woodward mengkritisi Clifford Geertz bahwa ada kesalahpahaman serius dalam melihat Islam Jawa,  namun perbedaan pandangan tidak menjadi soal dalam tulisan ini, kedua penelitian tersebut jelas menunjukkan bahwa agama dan masyarakat mempunyai kaitan yang erat dalam praktik sosial. 

Peradaban Islam telah menyumbangkan aset berharga bagi pengembangan tradisi ilmiah. Banyak buku ditulis, disadur dan diterjemahkan melalui kreativitas ilmuan Muslim. Namun dalam beberapa abad terakhir Islam secara teriotik sangat komprehensip namun dianggap lemah ketika dihadapkan dengan realitas masyarakat. Hal ini tidak lain disebabkan oleh pemahaman dalam menginterpretasikan wujud Islam. Islam lahir dengan sifatanya yang dinamis dan mengakomodir praktik sosial masyarakat yang mengandung norma dan pranata.

Penulis adalah Finalis Kompetisi Penulisan Esai, International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil) PBNU