Opini

Timur Tengah “Pasca” Perang Iran-Israel

NU Online  ·  Kamis, 26 Juni 2025 | 13:05 WIB

Timur Tengah “Pasca” Perang Iran-Israel

Asap terlihat mengepul setelah ledakan di Teheran, Iran, pada Jumat, 13 Juni 2025 (Foto: AP/Vahid Salemi)

Peristiwa-peristiwa besar di Timur Tengah beberapa waktu terakhir, khususnya perang besar 12 hari Israel-Iran, perang asimetris dan gila di Gaza, dan rangkaian normalisasi Arab-Israel mengindikasikan pergeseran perimbangan kekuatan dan konstelasi di kawasan itu. 


Secara garis besar, barisan negara-negara pro Barat atau yang disebut Barat sebagai moderat cenderung menguat. Sedangkan kekuatan yang berada di poros perlawanan khususnya Bulan Sabit Syiah melemah. Sementara kekuatan poros Islamis khususnya Ikhwani berada dalam tanya besar. Tiga poros kekuatan itulah yang selama ini mewarnai pertikaian di Timur Tengah, bahkan mungkin untuk beberapa waktu ke depan.


    
Tesis sederhana itu relevan jika kita mencermati dinamika mutakhir di Palestina, Israel, Iran, Lebanon, Suriah, negara-negara Arab Teluk, Turki, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Hasil perang Israel-Iran di lapangan cukup jelas meskipun sementara ini keduanya mengklaim sebagai pemenang dan situasi masih belum sepenuhnya normal. Bahkan ruang publik Iran menyaksikan “pesta” kemenangan meskipun hasil perang kurang menunjukkan hal itu.

 

Parameter kemenangan bagi Iran sangat sederhana, survival dari gempuran sistematis dan detail Israel yang dibantu AS. Potensi kembalinya perang dengan berbagai sebab terutama pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata tetap masih ada. 


Iran menghadapi tekanan yang begitu besar dengan kematian begitu banyak para pemimpin militer dan ilmuwan nuklirnya, serta kehancuran fasilitas-fasilitas nuklir utama dan fasilitas militer lainnya. Kata “kehancuran” memang jadi perdebatan di kalangan ahli militer: apakah maknanya Iran sudah tidak memiliki fasilitas nuklir lagi atau sekadar kerusakan-kerusakan besar sehingga membuatnya tidak berfungsi, tetapi masih mungkin diperbaiki dalam beberapa tahun ini. Tekanan terhadap rezim mullah pasca perang ini bisa makin kuat dengan mulai bergeliatnya tekanan dari kelompok-kelompok oposisi di dalam negeri.  


Sementara Israel kendati mengalami kepanikan hebat dan sistem pertahanan berlapisnya beberapa kali jebol oleh hujan rudal Iran, belum ada kabar kematian pemimpin militernya dan kehancuran fasilitas-fasilitas nuklirnya. Kementerian Kesehatan Israel menyatakan 29 orang meninggal dan ribuan luka-luka akibat serangan Iran, termasuk tujuh tentara “biasa”. Kementerian Kesehatan Iran menyebut 610 orang meninggal termasuk lebih 30 pucuk pimpinan militer dan top ilmuwan nuklir serta ribuan luka-luka. 


Iran memang memberikan perlawanan yang “gagah” terhadap agresi Israel itu tetapi hasil perang memang lebih banyak ditentukan oleh teknologi dan detail informasi daripada semangat, ideologi, dan pekikan perang. Netanyahu yang semula “terdesak” secara politik sebelum perang sekarang justru memperoleh popularitasnya kembali di dalam negeri Israel.

 

Sementara kekuasaan para mullah di Iran sedang dalam ujian yang hebat. Perang ini makin melemahkan barisan perlawanan, khususnya Iran yang jadi patron bagi berbagai gerakan perlawanan, sekaligus menguatkan posisi AS dan negara-negara Timur Tengah pro Barat.


Sebelumnya, jatuhnya Suriah ke tangan Haiah Tahrir al-Syam (HTS) menandai pelemahan signifikan poros Iran. Suriah adalah bagian dan jalur penting pergerakan barang dan orang yang mengoneksikan Teheran, Baghdad, dan Beirut. Bahkan jalur ini merupakan jalur suplai senjata dan dukungan lain untuk Hamas di Gaza.  

 

Jatuhnya rezim Asad adalah pukulan keras terhadap poros bulan sabit Syiah pimpinan Iran. Apalagi ini kemudian disusul dengan terjadinya kejahatan kemanusiaan terhadap minoritas khususnya kaum Alawiyin. Suriah juga merupakan jangkar Rusia di Timur Tengah yang kerapkali jadi sekutu poros Iran dalam banyak isu. 


Kaki dan Tangan
Sebelum melabrak Iran, Israel memang telah memotong kekuatan yang didukung Iran di sekitar wilayahnya. Jatuhnya Asad menandai penguatan kekuatan pro Barat dan Islamis di bumi para nabi, sekaligus memberi jalan bagi serangan Israel secara langsung terhadap Iran.  

 

Ahmad Sara adalah mantan pimpinan Jabhah al-Nusra yang merupakan cabang kelompok teroris global Tandzim al-Qaida. Sangat janggal, ia kini menampilkan diri sebagai seorang moderat bahkan progresif yang ujarannya merangkul semua pihak, bahkan bisa bekerja sama dengan negara-negara Barat dan kemungkinan dengan Israel. Di samping memperoleh dukungan dari negara-negara Arab pro Barat, tokoh ini dan kelompoknya juga memperoleh dukungan dari patron Islamis yaitu Turki di bawah kepemimpinan Erdogan.


Tragedi kemanusiaan di Gaza adalah peristiwa terburuk dan paling mengguncang rasa kemanusiaan dalam beberapa waktu terakhir. Kekuatan kelompok perlawanan khususnya Hamas diyakini mengalami penurunan drastis. Hamas kini berjuang untuk survive. Nasib Hamas di Gaza baik secara politik maupun militer sedang ditentukan dalam beberapa waktu terakhir setelah Israel kembali mengobarkan perang jilid II.

 

Kita tahu bahwa para tokoh dan kekuatan Hamas yang dihancurkan itu adalah faksi Hamas pro Iran. Deretan tokoh-tokoh seperti Ismail Haniyeh, Muhammad Dhif, Yahya Sinwar, dan deretan tokoh Hamas lain yang dibunuh Israel dikenal dekat dengan Iran atau Hizbullah. Kelompok Hamas yang “pro negara-negara Arab” seperti Khalid Mishal dan jaringannya sepertinya bukan jadi target penting Israel. 


Pelemahan poros perlawanan makin drastis dengan kehancuran insfrastruktur secara luas dan kematian para pemimpin Hizbullah di Lebanon pasca perang “front pendukung” yang digencarkan kelompok ini. Lebonan yang strategis dalam konteks Bulan Sabit Syiah saat ini tak lagi dikontrol oleh senjata Hizbullah. Berbagai upaya dan kerja sama banyak pihak dilakukan untuk melucuti Hizbullah. Melemahnya Hizbullah merupakan pukulan telak bagi poros Iran. Hizbullah adalah anak kandung dan ideologis Vilayat al-Faqih Iran sekaligus ujung tombak penting bagi poros Syiah di Timur Tengah.

 

Terdesaknya Hamas di Gaza juga jadi indikasi penting kekalahan poros Islamis setelah IM pusat di Mesir dibubarkan oleh rezim militer al-Sisi. Perlu dicatat, DNA Hamas adalah Islamis Ikhwani meskipun dukungan militer terbesar untuk kelompok ini pada perang Gaza baru-baru ini secara de facto datang dari Iran dan poros Syiah yang lain. Kekuasaan Erdogan di Turki yang merupakan “patron politik” Hamas dan kelompok Islamis Ikhwani sempat dalam ketidakpastian setelah demonstrasi besar-besaran menghantam Istanbul dan wilayah lain di Turki akibat penangkapan bakal calon presiden partai CHP. 


Faktor Trump
Berkuasanya kembali Donald Trump di Gedung putih yang belum genap enam bulan telah memberi dimensi dan warna baru bagi perkembangan di Timur Tengah. Trump adalah sosok pragmatis, tetapi keras dan “ngawur’. Ia tidak akan banyak mendengar apalagi peduli pihak lain. Iran dan proksi-proksinya jadi target utama dari AS. Kelompok Syiah Houthi di Yaman yang aktif memberikan dukungan dengan cara khusus untuk Hamas dibombardir AS atas perintah Trump. 


Berikutnya, Hamas sepertinya juga akan menghadapi tekanan politik dan militer yang lebih hebat untuk melepas kekuasaannya di Gaza. Trump tak peduli tragedi kemanusiaan kembali terjadi di masyarakat yang sudah sangat menderita itu. Nasib warga Gaza yang tak berdosa juga makin mengerikan. Sebab serangan Israel jilid II ke Gaza diakui mendapat dukungan dari Trump. Tampak ada rencana “brutal” Trump terhadap Gaza. Ia sepertinya belum sepenuhnya mundur dari rencana mengusir warga Gaza dari tanah airnya.


Jika gencatan senjata Israel-Iran berhasil mendorong kedua pihak ke meja negosiasi yang “sukses”, Trump sepertinya akan segera mendorong lagi sejumlah negara Arab untuk menormalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel tanpa mempertimbangkan proses perdamaian Israel-Palestina. Suriah kabarnya jadi negara Arab di barisan terdepan dalam hal ini.

 

Di akhir pemerintahannya yang pertama, dengan tekanan Trump empat negara Arab melakukan normalisasi dengan Israel, yaitu UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Tren ini jelas akan memperluas orbit AS di kawasan plus sangat menguntungkan Israel dan merugikan perjuangan Palestina merdeka. Meskipun harapan perbaikan ada, faktor Trump memperburuk situasi kawasan.


Ibnu Burdah, Guru Besar Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta