Nasional

Aktivis Gusdurian Ungkap Fakta di Balik Konflik Poso

Ahad, 8 November 2020 | 04:00 WIB

Aktivis Gusdurian Ungkap Fakta di Balik Konflik Poso

Ilustrasi Gusdurian. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Aktivis perempuan dan perdamaian, Lian Gogali, mengungkap sejumlah fakta di balik konflik di Poso Sulawesi Tengah. Ia mengisahkannya saat menjadi narasumber dalam acara Gusdurian bertema ‘Gerak Langkah Toleransi Akar Rumput’.


Diskusi yang dimoderatori putri keempat Gus Dur, Inayah Wahid, itu digelar melalui Zoom dan disiarkan langsung di Fanspage Facebook KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Jumat (6/11) malam.


Lian menceritakan kisah yang didengarnya langsung dari seorang perempuan yang bernama Ibu Sarino sebagai pelaku pembongkar asumsi masyarakat tentang pembatasan antarumat Islam dan Kristen.


“Dulu tahun 2002 masih banyak sekali bom, penembakan, penculikan misterius, dan kasus tiba-tiba hilang di Poso. Namun Ibu Sarino ini tetap memutuskan untuk menjual ikan dari satu rumah ke rumah lain,” ungkap pendiri Sekolah Perempuan dan Institut Mosintuwu itu.


Ia menambakan, sebelum terjadi konflik, Ibu Sarino bersama perempuan lain berjalan puluhan kilo meter untuk berjualan dan menjumpai ibu-ibu baik yang beragama Islam maupun Kristen.


“Namun, suatu ketika Ibu Sarino memutuskan tetap menjual ikan di saat semua orang melarangnya untuk berjualan di wilayah milik orang Kristen. Tapi, beliau berkata saat diwawancara, bahwa tidak punya niat buruk saat jual ikan. Sehingga beliau yakin orang Kristen akan tetap menyambut baik,” terang Lian.


Menurut dia, memang benar ternyata Ibu Sarino disambut baik. Bahkan, dipeluk oleh masyarakat Kristen. Mereka mengucapkan terima kasih karena Ibu Sarino karena bersedia membawakan ikan.


Lian menjelaskan, dahulu pernah ada asumsi bahwa ikan dan sayuran seolah memiliki agama sendiri. “Rata-rata orang pesisir pantai adalah Muslim. Maka ikan sering disimbolkan dengan muslim. Sedangkan sayuran yang ditanam di pegunungan beragama Kristen, karena ditanam orang-orang pegunungan yang rata-rata beragama Kristen,” jelasnya.


Bongkar asumsi
Hadirnya Ibu Sarino, menurut dia, mampu membongkar batasan-batasan dan asumsi bahwa orang Islam dan Kristen saling membenci satu sama lain.


“Seingat saya, Ibu Sarino adalah yang pertama kali berani untuk menembus batas-batas wilayah Islam dan Kristen dengan bakul ikannya,” tandas Lian.


Bercerita tentang toleransi, kata dia, berakar pada pengalaman yang dirasakan betul oleh masyarakat bahkan dalam situasi konflik sekalipun.


“Yang terjadi di Poso itu, orang-orang Islam dan Kristen merajut kebersamaan bahkan saat orang-orang berasumsi itu tidak benar,” ungkapnya.


Lian mengungkapkan, cerita-cerita sesungguhnya yang ada telah hilang dan disenyapkan dalam pembicaan konflik Poso.


“Semua orang yang membicarakan Poso pasti beranggapan bahwa antara Islam dan Kristen saling membunuh. Wacana mengenai Poso sebagai konflik agama yang dipelihara sebenarnya dapat dibongkar dengan cerita-cerita toleransi yang sesungguhnya ada,” jelasnya.


Oleh karena itu, Lian mengungkapkan, Sekolah Perempuan yang didirikan berfungsi mempertemukan golongan Islam dan Kristen untuk membuka dan membicarakan serta mengurai ulang tentang dendam yang dipelihara dalam wacara yang tidak benar.


“Wacana yang ditawarkan sejarah ini berdampak pada anak-anak dikemudian hari yang pada akhirnya menyesuaikan cerita yang justru bukan milik mereka,” pungkasnya.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori