Nasional

Aktivis Perempuan: Pernikahan Anak Rendahkan Keadaban Manusia

Sen, 7 Juni 2021 | 06:30 WIB

Aktivis Perempuan: Pernikahan Anak Rendahkan Keadaban Manusia

Ilustrasi pernikahan anak. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Belakangan jagat maya riuh dengan berita kontroversi mengenai program tayangan yang dinilai memasarkan poligami dan pernikahan anak hingga menuai banyak protes di kalangan masyarakat.

 

Salah satu Pakar Pemerhati Perempuan dan Anak, Lies Marcoes Natsir, turut berkomentar dengan tegas bahwa poligami adalah tindakan yang selain merendahkan martabat perempuan tapi juga menurunkan harkat keadaban manusia.


"Poligami itu tindakan merendahkan harkat perempuan dan menurunkan harkat keadaban manusia," tegas Lies mengatakan kepada NU Online melalui sambungan telepon, Jumat (4/6) lalu.


Sehingga sangat pantas ketika banyak warganet (pengguna internet) terutama aktivis yang melindungi hak-hak perempuan merespon pemberitaan tersebut dengan melakukan penandatanganan petisi untuk menghentikan penayangannya yang dianggap merusak moral anak bangsa.


"Ayolah jangan karena justifikasi rating dan kesukaan rakyat lantas mengesampingkan perjuangan untuk mencerdaskan bangsa," ajaknya.


Menurut perempuan yang juga aktif sebagai anggota Majelis KUPI ini, mengatakan ajakan penandatanganan petisi ini lantaran sinetron tersebut terkesan membeberkan kepada publik bahwa perkawinan anak sah dilakukan termasuk menjadi pelaku poligami dan kekerasan seksual.


"Yang kita persoalkan adalah menggugat si anak 15 tahun itu masuk ke dalam hubungan kontroversial. Teman-teman aktivis perempuan juga sudah mengajak secara baik kepada industri yang menyayangkan untuk segera memberhentikan penayangannya," kata Peneliti Kajian Islam dan Gender ini.


Terkait poligami, paling jauh Islam hanya membolehkan (ibahah), itu pun dengan syarat-syarat yang ketat. Bukan mempromosikannya (tarwij) atau menganjurkan. Berdasarkan hal itu, menurut Lies, acara-acara yang dibumbui dengan promosi poligami seperti pada program tayangan televisi tidak ada dasarnya dalam Islam. Selain itu, tayangan semacam itu hanya menyakiti perempuan secara publik.


"Tindakan tersebut adalah humiliating women (mempermalukan perempuan) bahwa perempuan tidak punya akal dan sebagainya," jelas penggagas program Fiqh-An-Nisa ini.


Sebelumnya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Bintang Puspayoga menjelaskan, konten apapun di media penyiaran harus memberi informasi yang mendidik, terlebih pada anak.


Materi atau konten sebuah acara, sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS), seharusnya mendukung pemerintah dalam upaya pemenuhan hak anak dan demi kepentingan terbaik anak.


"Konten apapun yang ditayangkan oleh media penyiaran jangan hanya dilihat dari sisi hiburan semata, tapi juga harus memberi informasi, mendidik, dan bermanfaat bagi masyarakat, terlebih bagi anak. Setiap tayangan harus ramah anak dan melindungi anak,” tegas Bintang dikutip dari laman kemenppa.go.id.


Melansir laman resmi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dituliskan bahwa pihaknya telah meminta adanya evaluasi secara menyeluruh terhadap sinetron tersebut. Tayangan itu dinilai memiliki muatan yang berpotensi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS) KPI 2012.


Komisioner Pusat KPI Bidang Kelembagaan Nuning Rodiyah menyebut peran istri yang dimainkan pemeran di bawah umur dalam tayangan itu, sebagai bentuk stimulasi pernikahan usia dini yang itu bertentangan dengan program Pemerintah.


"Karena lembaga penyiaran justru harus mendukung upaya Pemerintah menekan angka pernikahan di bawah usia dewasa yang masih tinggi di Indonesia," kata Nuning seperti dikutip dari kompas.com.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad