Nasional

Ruby Kholifah: Nikahkan Korban Pemerkosaan dengan Pelaku Bukan Solusi

Jum, 28 Mei 2021 | 07:45 WIB

Ruby Kholifah: Nikahkan Korban Pemerkosaan dengan Pelaku Bukan Solusi

Ruby Kholifah. (Foto: Gatra)

Jakarta, NU Online

Kejahatan pemerkosaan dan kekerasan seksual kerap terjadi. Namun tak lekas juga membuat kalangan masyarakat peka membela kepentingan korban untuk memperjuangkan haknya. Seperti peristiwa pemerkosaan yang menimpa siswi SMP di Bekasi. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan capaian Kota Bekasi sebagai salah satu kota peduli Hak Asasi Manusia (HAM) selama 4 tahun berturut-urut sejak 2016. 


Pasalnya, alih-alih melindungi hak korban, korban malah dipaksa untuk menikah dengan pelaku. Menanggapi hal tersebut, Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN), Dwi Rubiyanti Kholifah memiliki pendapat lain. Ia mengatakan, menikahkan korban dengan pelaku bukanlah solusi melainkan bentuk lain dari pelanggaran HAM yaitu perkawinan paksa. 


"Jelas perkosaan itu sudah bentuk kekerasan berbasis gender, atau tepatnya kekerasan seksual. Lalu menikahkan korban dengan pelaku, lapis lain dari kekerasan berbasis gender," kata Ruby kepada NU Online, Kamis (27/5).


Ditegaskan Ruby, jika hal ini dilakukan maka akan ada beberapa konsekuensi di antaranya, kecenderungan unsur pemaksaan sehingga memungkinkan terjadinya kekerasan lain karena pelaku akan merasa menjadi penyelamat bagi korban dan menganggap hukum bisa ditukar dengan sebuah pernikahan. 


Semua hal tersebut jelas merugikan korban karena menghilangkan haknya sebagai warga negara yang wajib mendapatkan perlindungan hukum. "Opsi terbaik bukan menikah, tapi keadilan buat korban," tegas pemerhati hak-hak perempuan ini. 


Solusi pernikahan antara pelaku dengan korban berarti impunitas bagi pelaku atas tindak kejahatan yang dilakukannya dengan menganggap korban perkosaan membutuhkan legitimasi anak yang dikandungnya. Padahal solusi damai lewat perkawinan hanya menyelamatkan pelaku dan meminggirkan hak-hak keadilan atas korban. 


"Solusi ini sebenarnya tidak menguntungkan siapa pun termasuk pelaku yang memang dengan melakukan kekerasan seksual sudah tidak punya niat baik menjadi pasangan. Jika fondasi kekerasan dipakai untuk melandasi pernikahan, maka siklus kekerasan akan tercipta. Karena pelaku merasa menjadi penyelamat, sedang korban merasa tidak punya power lagi karena membutuhkan si pelaku," ungkapnya. 


Oleh sebab itu, Ruby mendesak kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) agar segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PK-S) untuk mengakomodasi berbagai bentuk tindak pidana yang dialami oleh korban yang selama ini belum diatur.


"Aparat penegak hukum tentu fokus kepada konstitusi negara kita, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau UU lain. Namun, kasus begini semakin banyak, maka DPR RI sudah saatnya mengesahkan RUU-PKS yang sampai sekarang masih mangkrak," ujar peneliti aktivis gender ini. 


Ruby juga mengimbau kepada masyarakat agar lebih bijak dalam menyikapi berbagai persoalan terutama soal kekerasan seksual dengan mencari pendekatan lain. Misalnya menolong korban, merangkul korban dan memberikan rasa aman kepada korban agar korban tetap berpikir sehat dan tidak terintimidasi oleh solusi yang tidak menguntungkan masa depannya. 


"Kepada orang tua harus menerima anak mereka kembali, dan mengarahkan bahwa perkosaan atau pun kehamilan tidak otomatis menghentikan semua cita-cita. Masih ada masa depan dengan mengambil solusi yang waras," tandas dia.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad