Nasional

Alissa Wahid: SKB 3 Menteri Dampak Ketidaksiapan Otonomi Daerah 

Kam, 20 Mei 2021 | 07:00 WIB

Alissa Wahid: SKB 3 Menteri Dampak Ketidaksiapan Otonomi Daerah 

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alisa Qotrunnada Munawaroh Wahid. (Foto: deklarasi-sancang.org)

Jakarta, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alisa Qotrunnada Munawaroh Wahid menceritakan bahwa KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika membantah sentralistik dunia pendidikan dengan desentralisasi melalui pendidikan demokratis adalah untuk melahirkan masyarakat yang kritis dan bertanggungjawab. Sementara pada saat bersamaan Gus Dur juga menentang kebijakan otonomi daerah yang menurutnya apabila tidak direncanakan dengan matang hanya akan menguntungkan pihak atau golongan tertentu yang mempunyai kepentingan saja.

 

"Nah, sekarang menurut saya ini situasi yang menunjukkan dampak dari otonomi daerah yang tidak dipersiapkan dengan matang. Kita tahu bahwa urusan agama adalah urusan yang tidak diotonomikan, karena (agama) ini adalah urusan absolut," kata Alissa Wahid dalam acara Pro Kontra SKB 3 Menteri terkait dengan aturan seragam: perempuan dan ke-Indonesian yang digelar Center for Women Studies UGM, Rabu (19/5) kemarin.

 

Hal tersebut dikarenakan pemerintah negara menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan. Tugas-tugas tersebut hanya boleh dilakukan oleh pemerintah pusat yang meliputi, kewenangan di bidang pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, politik luar negeri, dan agama.

 

"Tetapi, kemudian kita lihat saat ini yang terjadi adalah justru daerah-daerah berlomba-lomba untuk melakukan pengaturan dalam hal agama. Jadi, ini bagian dari persoalan yang berangkat dari ketidaksiapan kita untuk mengelola otonomi daerah ini," terang Manager Indonesia Planned Parenthood Association ini.

 

SKB 3 Menteri ini sebelumnya telah diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Agama (Kemenag) pada 3 Februari 2021 yang lalu. Namun oleh Mahkamah Agung (MA) resmi dibatalkan melalui melalui Putusan Nomor 17P/HUM2021. 

 

"Menurut saya ketika SKB ini dicabut, MA menggunakan pendekatan harmoni sosial itu juga cukup kuat. Walaupun tidak tampak dalam teks bahasanya tetapi tekanan dari lembaga masyarakat yang kemudian berpaham pada harmoni sosial itu juga yang kemudian jadi persoalan," tutur Alissa. 

 

Perlu digarisbawahi bahwasanya pemutlakkan penghargaan berlandaskan harmonisasi sosial kerap terjadi di negara-negara bermayoritas agama tertentu dan menganggapnya sebagai privilege (keistimewaan) yang membuat demokrasi seolah majority rule (keputusan mayoritas) tanpa ada konstruksi atau kerangka Hak Asasi Manusia. 

 

Disebutkan oleh Jonathan Hyde dalam bukunya bahwa Indonesia merupakan kluster negara-negara yang sociocentric. Karenanya komunalitas menjadi penting dan berujung pada harmoni sosial. 

 

"Indonesia itu masyarakatnya sociocentric di mana individu itu berada di bawah kepentingan sosial, di bawah norma sosial. Sehingga kemudian ketika bertemu dengan karakter agama yang komunal ini head to head dengan karakter demokrasi yang berbasis hak individu," jelas Alissa. 

 

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Imam Nahei yang juga hadir menanggapi bahwa kebijakan-kebijakan yang mengusung agama tertentu berpotensi memojokkan perempuan dan mengancam kesatuan NKRI. 

 

"Jika sebuah kebijakan hanya mengusung satu nilai, satu norma agama tertentu maka berpotensi untuk menghancurkan keragaman yang lain, mengkriminalkan perempuan, pembatasan ruang gerak perempuan, kontrol tubuh perempuan, bahkan mengancam kesatuan NKRI," ucap Imam Nahei

 

Kontributor: Syifa Arrahmah 
Editor: Kendi Setiawan