Nasional

Diskusi Pra-Bahtsul Masail, LBM PBNU Bahas Isu Hak untuk Dilupakan

NU Online  ·  Sabtu, 16 Agustus 2025 | 15:45 WIB

Diskusi Pra-Bahtsul Masail, LBM PBNU Bahas Isu Hak untuk Dilupakan

Ahmad Ahsin Thahari saat menyampaikan materi dalam diskusi Pra-Bahtsul Masail pada Sabtu (16/8/2025) secara daring.

Jakarta, NU Online
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membahas isu seputar Right to be Forgotten (Rtbf) atau Hak untuk Dilupakan. Agenda yang digelar secara daring pada Sabtu (16/8/2025) pagi ini menghadirkan pakar Hukum Tata Negara UPN Veteran Jakarta Ahmad Ahsin Thahari sebagai narasumber. 


Dalam pemaparannya, Ahsin mengatakan bahwa Rtbf memberikan hak kepada setiap individu untuk mengontrol informasi atas dirinya. Hak ini berkembang dari sifat kelestarian dan aksesibilitas media digital yang dapat mengaburkan perubahan diri seseorang. 


Menurutnya, bias informasi semacam itu harus segera diatasi sebab menyangkut reputasi, privasi dan keamanan individu. Sehingga, dalam konteks ini pemerintah butuh menertibkan kembali regulasinya. Pun ormas seperti NU punya andil dalam merekomendasikan pandangan-pandangan berperspektif keagamaan.

 

"Supaya masyarakat luas memperoleh informasi dan ketika para pembuat kebijakan pemerintah misalnya, atau DPR, itu ketika akan membuat kebijakan tertentu, tentu perlu kita ingatkan bersama-sama ada beberapa nilai kebajikan, virtue yang kita juga bisa tawarkan," jelasnya.

 

Ia menilai, terdapat sejumlah faktor yang mendorong perlunya isu Rtbf ini dikaji dengan perspektif hukum Islam. Faktor pertama, sebut Ahsin, adanya pengadilan yang tidak praktis. 


"Jadi kalau orang yang dirugikan sebagai pemilik data pribadi harus menggugat ke pengadilan dulu itu tidak efisien, butuh dana, butuh waktu. Tentunya ini tidak bisa diandalkan," ujarnya.

 

Kemudian sebab kedua yakni tidak adanya gambaran mengenai frasa "yang tidak relevan" dalam UU ITE dan UU PDP. Ketidakjelasan ini membuka pintu penafsiran kian melebar. Faktor lain juga disebabkan minimnya kesadaran dan kepatuhan oleh penyelenggara sistem elektronik.


Menurutnya, potensi terjadinya benturan antara Rtbf dengan kebebasan informasi pejabat publik juga turut menjadi alasan perlunya menggali pandangan hukum isu ini. Terakhir, belum adanya lembaga yang menyelenggarakan perlindungan data pribadi.


"Padahal, Undang-Undang PDP itu mengamanatkan terbentuknya Lembaga Penyelenggara Perlindungan Data Pribadi, dan ini langsung di bawah Presiden," tandasnya.

 

Ia pun mengutarakan, jika isu ini dibiarkan menggelinding tanpa ada upaya pembenahan hal ini berpotensi menarik kasus-kasus etik maupun hukum yang berbasis digital. 

 

"Misalnya mantan narapidana yang telah menjalani hukuman, bisa enggak dia menghapus berita lama tentang kasusnya? Lalu 20 tahun sudah berlalu, apakah dia punya hak untuk dilupakan oleh mesin pencari?," lempar praktisi hukum yang juga anggota LBM PBNU itu.

 

Turut hadir dalam agenda ini Ketua LBM PBNU KH Mahbub Ma'afi, Sekretaris LBM PBNU Nyai Ala'i Nadjib dan sejumlah pengurus LBM PBNU lainnya.