Nasional

Alissa Wahid soal Bentrok di Pulau Rempang: Proyek Negara tapi Korbankan Rakyat

Sab, 9 September 2023 | 05:00 WIB

Alissa Wahid soal Bentrok di Pulau Rempang: Proyek Negara tapi Korbankan Rakyat

Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Hj Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menyoroti tragedi di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, yang sempat mengalami situasi mencekam akibat bentrokan antara warga dengan aparat gabungan TNI dan Polri. 


Pasalnya, aparat gabungan TNI dan Polri merangsek masuk ke perkampungan warga pada Kamis (7/9/2023). Tempo mencatat, terdapat 60 armada aparat yang terus memaksa masuk ke wilayah Pulau Rempang.


Aparat gabungan TNI-Polri yang datang ke Rempang itu bertujuan untuk memasang pasok tata batas lahan Rempang Eco-City. Sebuah proyek strategis nasional (PSN) untuk membangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata di lahan seluas 17 ribu hektare yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) dengan target akan menarik investasi hingga Rp381 triliun pada 2080.


Masyarakat Rempang yang masih erat dengan kehidupan adatnya menolak rencana proyek strategis nasional itu. Mereka memblokir jalan dengan menebang pohon dan meletakkan blok kontainer di tengah jalan. Bentrokan pun terjadi. Aparat menembakkan gas air mata yang membuat anak-anak dan bayi menjadi korban. 


Menurut Alissa Wahid, bentrokan di Pulau Rempang itu sama sekali tak mencerminkan demokrasi. Sebab ia menegaskan, demokrasi seharusnya mampu memberikan perlindungan kepada setiap warga negara. 


“Apa yang hari ini terjadi di Rempang, itu kepentingan negara, proyek strategis negara tapi mengorbankan rakyat. Tidak seperti itu yang namanya demokrasi. Demokrasi adalah perlindungan terhadap setiap warga negara,” ucap Alissa Wahid dalam Webinar Harlah Gus Dur, disiarkan langsung melalui Youtube TV9 Nusantara dikutip NU Online pada Jumat (8/9/2023). 


Alissa bercerita, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah didatangi oleh aktivis lingkungan yang menyampaikan keresahan soal sebuah hutan yang akan diperjualbelikan dan mengancam masyarakat adat yang tinggal di dalamnya. Kalau hutan tersebut diperjualbelikan, maka masyarakat adat pasti terusir karena mereka menggantungkan hidupnya dari hutan. 


“Kemudian Gus Dur menggunakan wewenangnya dan kekuasaannya sebagai presiden (dengan) membuat peraturan bahwa semua hutan ini adalah hutan negara yang tidak boleh dijual, dan semua warga negara yang ada di dalam hutan tersebut harus dilindungi, tidak boleh diusir,” ucap Alissa Wahid. 


Bagi Gus Dur, lanjut Alissa, demokrasi bukan sekadar aturan permainan kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, tetapi harus menciptakan ‘tradisi demokrasi’ yang benar-benar hidup di kalangan masyarakat. 


Ia menjelaskan, tradisi demokrasi mensyaratkan setiap manusia yang ada di dalam masyarakat akan terlindungi hak-hak asasinya sebagai manusia dan hak-hak konstitusinya sebagai warga negara. Suara mereka juga didengar, dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan, dan pengelolaan hidup sepenuhnya untuk mereka. 


“Maka judulnya: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Itulah demokrasi. Bukan pemilu langsung itu yang disebut sebagai demokrasi, bukan sekadar coblosan yang disebut demokrasi. Tetapi dari rakyat; aspirasinya didengarkan, terlindungi semuanya, oleh rakyat; dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan hidup bersama, dan semuanya itu bermuara pada rakyat,” jelas Alissa. 


Karena itulah, Gus Dur pada setiap kesempatan dalam hidupnya sering menyampaikan sebuah kaidah yang berbunyi: tasharruful imam ‘ala ra’iyyah manuthun bil maslahah. Artinya, kebijakan atau keputusan seorang pemimpin harus disandarkan pada kepentingan, kesejahteraan, dan kemaslahatan rakyatnya. 


“Bukan untuk kepentingan sekelompok orang, bukan untuk kepentingan pemerintah. Jadi, bagi Gus Dur itu demokrasi adalah jalan menuju keadilan. Demokrasi ini adalah ruang untuk mengelola hidup bersama bagi semua warga negara, itu yang oleh Gus Dur sangat dijunjung tinggi,” ucap Alissa.