Nasional

Analisa Kebijakan Pengelolaan Program Studi pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam

Sen, 19 Agustus 2019 | 03:30 WIB

Analisa Kebijakan Pengelolaan Program Studi pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam

Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, salah satu dari Perguruan Tinggi Keagaaman Islam di Indonesia.

Pengaruh wider mandate Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), melahirkan kecenderungan semakin membengkaknya program studi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), baik yang berbasis keilmuan umum ataupun pada keilmuan agama.
 
Hasil penelitian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan tahun 2013 menunjukkan bahwa pada PTKI UIN terdapat 163 (53,8%) prodi agama, dan 138 (45,54%) prodi umum. Pada IAIN, terdapat 300 (82,64%) prodi agama, dan 57 (15,7%) prodi umum. Pada STAIN, terdapat 259 (86,62%) prodi agama, dan 37 (12,37%) prodi umum.
 
Data di atas menunjukan bahwa perubahan status PTKI dari sekolah tinggi menjadi institut, dan menjadi universitas, diiringi peningkatan persentase jumlah prodi umum. Hal tersebut juga sebagai konsekwensi logis dari aspek epistemologis keilmuan umum yang senantiasa berkembang ke arah yang tidak terhingga, sementara ilmu agama akan tetap pada dimensi ortodoks yang diturunkan dari wakyu atau kitab suci. Meskipun basis keilmuan (epistemologi ilmu) prodi agama, adalah statis (pada kitab suci), namun kenyataan di lapangan menunjukan dinamika tertentu untuk mengikuti perkembangan program studi umum.
 
Peraturan Menteri Agama Nomor 33 tahun 2016, yang diubah (disempurnakan) dengan peraturan Menteri Agama Nomor 38 tahun 2017, tentang Gelar Akademik Perguruan Tinggi Keagamaan, menyebutkan 55 jenis nama program studi yang kini terdapat di PTKI. Dari 55 program studi tersebut, beberapa program studi pada fakultas berbasis agama yakni Ushuluddin, Syariah, dan Dakwah, berada pada status langka peminat. Artinya, masyarakat, khususnya alumni Madrasah Aliyah, SMA, dan SMK kurang berminat pada program studi tertentu. Siswa Madrasah Aliyah lebih banyak yang tertarik masuk ke perguruan tinggi umum (PTU) yakni sebanyak 44,6%, dibandingkan yang memilih masuk ke perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) yakni sebanyak 28,8%.
 
Hasil dan Pembahasan

Program studi agama yang memiliki kelebihan peminat adalah Pendidikan Agama Islam (PAI) di Fakutas Tarbiyah. Prodi ini sangat diminati oleh masyarakat (calon mahasiswa), dan ratingnya bersaing dengan prodi-prodi pada fakultas Ekonomi dan Bisnis; serta pada Prodi Sains.
 
Di samping adanya program studi langka peminat sebagai kenyataaan empiris di PTKI, beberapa nama (nomenklatur) program studi juga dipandang aneh, misalnya program studi Pariwisata Syariah, Perpustakaan dan Informasi Islam, Seni dan Arsitektur Islam. Dari sisi epistemologis, nomenklatur beberapa program studi tersebut kuat dari sisi struktur keilmuan. Dari sisi aksiologis dan pragmatis, prodi tersebut belum jelas pasar kerja dan distingsi dari program studi lainnya. 

Dari sisi orientasi dan profil alumni program studi (khususnya Prodi Agama) terdapat anomali yang menarik. Para mahasiswa Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum,  Studi Agama-agama, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, dan Akidah Fisafat Islam, mayoritas berorientasi untuk menjadi guru dan atau dosen dan pengusaha. Sedikit yang memilih untuk menekuni profesi yang sejalan dengan bidang ilmu yang dipelajari.
 
Untuk mahasiswa program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, hanya 12,4% yang berorientasi profesi sebagai mufassir, atau ahli tafsir, atau ilmuwan. Selebihnya, mereka berorientasi profesi untuk menjadi guru yakni sebanyak 26,7%, dosen sebanyak 12,8%, dan pengusaha sebanyak 10,8%. Untuk mahasiswa program studi Akidah dan Filsafat Islam, mayoritas mahasiswanya berorientasi profesi sebagai guru (23%) dan pengusaha (17,5%). Kemudian, mahasiswa program studi Perbandingan Agama atau Studi Agama-agama, hanya 4,4% yang berorientasi profesi sebagai aktivis/ahli/negosiator konflik. Mereka lebih banyak memilih profesi sebagai guru (20,8%) dan menjadi pengusaha (12,5%). 
 
Ada kecenderungan pihak PTKI untuk mereplikasi dan menduplikasi program studi (khususnya pro agama) tanpa analisis dan kajian akademis yang matang. Oleh karena itu, seluruh asosiasi program studi yang berada dalam lingkungan PTKI perlu merumuskan landasan akademis bagi eksistensi program studi. Direktorat jenderal Pendididikan Islam atau minimal pada tingkat eselon duanya yakni direktorat pendidian tinggi Islam (Diktis) perlu mendukung dan memonitor proses tersebut dalam rangka menilai kelayakan eksistensi sebuah program studi.
 
Kesimpulan 
 
Dari berbagai uraian, data, dan informasi di atas, terlihat adanya masalah atau ketidak jelasan dalam pengelolaan program studi di PTKI. Dan masalah tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri oleh PTKI. Pihak diluar PTKI harus terlibat untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk itu maka pemerintah cq. Kementerian Agama, melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam perlu mengatur keberadaan program studi di seluruh PTKI. Melalui kebijakan ini, diharapakan PTKI memiliki dasar dan pijakan dalam menata kembali program studi yang ada.

Rekomendasi Kebijakan
 
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) atau Direktorat Diktis perlu membuat kebijakan untuk mengatur dan mengevaluasi eksistensi program studi di PTKI. Bagi program studi yang tidak memiliki basis keilmuan dan landasan akademis yang kuat serta distingsi dengan prodi lainnya, sebaiknya dibubarkan atau dimerger dengan program studi lain yang sejenis.
Ditjen Pendis harus memperketat pendirian program studi baru, baik yang bersifat replikatif (memekarkan suatu program studi menjadi lebih dari satu) ataupun duplikatif (mengikuti jejak PTKI lain).
 
Di samping kelengkapan sarana, prasarana dan infrastruktur, landasan epistemologi keilmuan serta tuntutan kebutuhan masyarakat atau pasar kerja harus dipertimbangkan secara komprehensif sebagai salah satu persyaratan mendirikan program studi baru. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) harus menjadi salah satu landasan dan pertimbangan dalam mendirikan program studi di PTKI.

Program studi agama yang memiliki landasan keilmuan (epistemologi) yang kuat, harus dipertahankan, meskipun ada kecenderungan minat calon mahasiswa rendah. Pemerintah perlu memberikan beasiswa khusus kepada calon mahasiswa yang cerdas yang berasal dari madrasah aliyah dan pondok pesantren, untuk menjadi ilmuwan yang mewarisi dan melestarikan ilmu tersebut. Ditjen Pendidikan Islam atau Direktorat Pendidian Tinggi Islam perlu mengatur hal tersebut dalam suatu keputusan Dirjen Pendidikan Islam atau keputusan Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis). (Kendi Setiawan)
Â