Antisipasi Hubungan Naik Turun dalam Keluarga di Masa Pandemi
Selasa, 3 November 2020 | 08:00 WIB
Kiai Luqman menyebutkan bahwa hubungan suami istri itu harus dilandasi dengan niat ridha kepada Allah. (Foto: tangkap layar pada YouTube)
Aru Lego Triono
Kontributor
Jakarta, NU Online
Pakar Tasawuf, KH Luqman Hakim mengingatkan sejak kehidupan berkeluarga para nabi hingga kiamat nanti, di dalam hubungan suami-istri pasti terdapat fluktuasi (naik-turun), pasang-surut, dan konflik-damai.
Penjelasan itu disampaikannya untuk menggambarkan agar umat Islam tidak serta-merta membayangkan litaskunuu ilaihaa bermakna bahwa keluarga berisi ketenteraman semata.
"Kalau disebutkan sakinah dalam bentuk masdar mungkin itu baru setara dengan mawaddah. Tapi itu lain lagi. Allah menyebutkannya litaskunu. Litaskunuu ini hubungannya dengan proses reproduksi yang sah," ungkap Kiai Luqman dalam Diskusi Diskusi Merasakan Peran Keluarga di Era Pandemi.
Sebenarnya, lanjut Kiai Luqman, sakinah adalah sesuatu yang abstrak dan tidak bisa didefinisikan. Oleh karena itu, sudah benar bahwa Allah menyebutnya dengan kalimat litaskunuu yang bermakna proses atau sebuah ikhtiar untuk mencapai ketenteraman, dengan modal mawaddah dan rahmah.
Kemudian, Kiai Luqman menyebutkan bahwa hubungan suami istri itu harus dilandasi dengan niat ridha kepada Allah. Di dalam Al-Qur'an dimaktubkan, 'Fain tanaza’tum bi syai-in.'
Menurutnya, tanazu’ artinya konflik atau polemik. Pada tingkat paling inti, kata Kiai Luqman, pasangan suami istri itu harus farudduhu ilallah wa rasul. Dalam perspektif keluarga, faruddu artinya mengembalikan niat awal untuk apa berkeluarga.
Kalau tujuannya hanya untuk status dan meningkarkan derajat sosial saja, misalnya, kelak akan membuat bangunan keluarga menjadi berantakan. Karena itu, penting sekali dalam berkeluarga itu untuk mengembalikan niat hanya kepada Allah.
"Berkeluarga itu harus diniatkan untuk meraih ridha Allah. Begitu juga mengikuti jejak Rasul. Cara untuk meraih ridha Allah dalam berkeluarga adalah mengikuti cara Nabi dalam berkeluarga," jelas Kiai Luqman.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia paling paripurna karena selain harus memimpin keluarga dengan sembilan istri, Nabi juga harus melakukan aksentuasi sosial dan bahkan membangun hubungan sosial, politik, dan kemasyarakatan yang sangat sulit.
"Tetapi, yang terpenting kalau dari segi kembali kepada Allah dan rasul itu berarti kita harus berdoa. Keluarga harus dipenuhi dengan doa. Doa supaya kita ini, seluruh keluarga, anak-cucu sampai cucu kita sampai kiamat harus didoakan," ungkap Pengasuh Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat ini.
Ia menyarankan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian terhadap keluarga yang setiap hari mendoakan keluarganya. Selama dua bulan kemudian, pasti akan terjadi perubahan karena doa itu tadi. Setidaknya, keluarga akan semakin mengendalikan berbagai hal yang sifatnya buruk.
Istilah kemaslahatan keluarga yang kerap disebut oleh banyak ahli, harus dimaksudkan atau dimaknai sebagai kemaslahatan dalam dua hal yakni dunia dan akhirat. Sebuah keluarga jika hanya mementingkan kemaslahatan duniawi pasti akan rubuh. Oleh karena itu, keduanya harus diupayakan.
Kalau ingin meraih kemaslahatan maka dalam hubungan keluarga itu juga harus terjadi proses pendidikan mengenal Allah, mengenal diri sendiri, mengenal keluarga, dan mengenal kehidupan sesama manusia. Sebab di dalam proses pengenalan itu akan tercipta kemaslahatan.
Dengan begitu, kata Kiai Luqman, seseorang dapat dimudahkan untuk dapat mengapresiasi sebuah peristiwa atau berbagai proses masa sulit, seperti pandemi Covid-19 ini.
Kuncinya, harus kembali kepada Allah. Dalam bahasa lebih praktis, ahli tarekat menyatakan bahwa kembali kepada Allah adalah dzikrullah atau mengingat-ingat Allah. Kemudian harus juga kembali kepada Rasulullah dengan bershlawat.
"Allah sendiri menyebutkan, Aku tidak akan menyiksa suatu kaum yang kamu Muhammad ada di situ," jelasnya.
Artinya, apabila setiap individu membaca shalawat kepada Nabi maka Allah tidak akan memberikan siksaan yang pedih. Sekalipun muncul permasalahan maka itu bukan karena siksaan Allah, melainkan lantaran cinta dan kasih sayang Allah.
"Jadi ayat-ayat Allah itu adalah ikhtiar kita untuk dapat melahirkan sebuah generasi yang berakhlakul karimah. Kemudian rasa percaya yang penting. Karena percaya kepada pasangan harus didasarkan rasa percaya kepada Allah," pungkas Kiai Luqman.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Arus Komunikasi di Indonesia Terdampak Badai Magnet Kuat yang Terjang Bumi
2
PBNU Nonaktifkan Pengurus di Semua Tingkatan yang Jadi Peserta Aktif Pilkada 2024
3
Pergunu: Literasi di Medsos Perlu Diimbangi Narasi Positif tentang Pesantren
4
Kopdarnas 7 AIS Nusantara Berdayakan Peran Santri di Era Digital
5
Cerita Muhammad, Santri Programmer yang Raih Beasiswa Global dari Oracle
6
BWI Kelola Wakaf untuk Bantu Realisasi Program Pemerintah
Terkini
Lihat Semua