Nasional

Bu Amel, Belajar dari Kesalahan Mendidik hingga Predikat 'Guru Gila Lomba'

Sel, 22 November 2022 | 02:05 WIB

Bu Amel, Belajar dari Kesalahan Mendidik hingga Predikat 'Guru Gila Lomba'

Ameliasari Tauresia Kesuma‬, guru mata pelajaran Ekonomi dan Akuntansi di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Salatiga, Jawa Tengah. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online

Namanya ‪Ameliasari Tauresia Kesuma‬, guru mata pelajaran Ekonomi dan Akuntansi di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Salatiga, Jawa Tengah. Perempuan yang telah mengabdikan hidupnya pada pendidikan madrasah selama 34 tahun ini seakan tak lelah untuk belajar dan terus belajar tentang pendidikan dari pengalamannya menjadi pendidik. 


"Dulu ketika saya pertama kali menjadi guru saya terkesan egois, saya berpikir mata pelajaran yang saya ajarkan sangat-sangat penting, dan murid-murid di kelas saya semua harus paham ekonomi dan akuntansi. Saat itu saya sangat mementingkan nilai, semua nilai anak-anak saya umumkan di depan. Saya egois mementingkan diri sendiri, tugas saya jadi guru adalah membuat semua anak di kelas saya mempunyai nilai di atas KKM. Akibatnya saya sering marah dan tersinggung dengan kelakuan anak-anak, marah yang tidak jelas, membentak dan menyakiti mereka," ujar perempuan yang akrab disapa Bu Amel ini. 


Seiring berjalannya waktu, ada masa saat Bu Amel sadar bahwa peserta didik tentu memiliki latar belakang dengan ragam masalah yang berbeda pula. Dari kesadaran ini dia mulai menemukan pencerahan tentang perlunya belajar menyenangkan agar siswa bisa belajar dengan nyaman.


"Saat itu saya bangga sekali kalau anak-anak senang belajar dengan saya, apalagi saya memperoleh predikat guru terfavorit. Belakangan saya sadari ternyata belajar sekadar menyenangkan saja tidak cukup, seharusnya belajar itu membuat anak-anak terinspirasi dan bermakna untuk hidup mereka. Kemudian anak-anak suka jika belajar dengan saya saja tidak cukup, seharusnya mereka suka belajar dengan siapa saja, apa saja, kapan saja, dengan bagaimana pun caranya," imbuhnya.


Kesadaran-kesadaran tentang tujuan pendidikan serta bagaimana menjadi pendidik yang bagus malah semakin membuat Bu Amel merasa tidak puas dan selalu ingin memperbaiki diri apalagi seiring dengan perkembangan zaman yang dibarengi dengan melesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. 


"Saya tidak tahu apakah semua yang saya yakini sekarang, tentang bagaimana mendidik anak-anak sudah benar, karena zaman terus berubah dan berkembang. Saya akan terus belajar dan berubah, karena menemukan ‘duh ternyata saya salah’, ini yang membuat saya bersemangat untuk selalu mengembangkan diri, demi murid-murid saya serta terus berkarya," ujarnya.


Untuk pengembangan diri, perempuan yang berdomisili di Perumahan Kalilondo Nomor 17 Kelurahan Sidorejo Kidul, Salatiga ini bingung karena jika mengikuti pelatihan-pelatihan kadang perlu izin dari instansi yang tentu tidak seterusnya mendapat kesempatan untuk diberi izin, selain itu juga perlu mengeluarkan biaya. Maka solusinya, saat itu mulai tahun 2009 Bu Amel, mulai belajar meningkatkan kompetensi dengan mengikuti lomba-lomba.

 

"Lomba yang pertama kali saya ikuti adalah lomba karya ilmiah guru yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saya lolos 5 besar, kalau ikut lomba seperti ini, selain surat tugas resmi diperoleh, dapet uang saku, dan pengalaman berharga dan ternyata guru-guru yang ikut serta juga sangat kreatif inovatif dan suka berbagi," imbuhnya. 

 

Bahkan, karena hobinya ikut lomba, Bu Amel membuat grup khusus yang diberi nama "Guru Gila Lomba" dan hampir setiap tahun dia mengikuti kompetisi guru, baik dalam bidang lomba karya ilmiah, lomba inovasi pembelajaran, hingga lomba pidato bahasa Inggris. Tak ayal, predikat juara pun berderet dari kompetisi tingkat provinsi hingga nasional dimiliki peraih penghargaan Rohana Kudus Award, kategori Desainer Modul Pembelajaran oleh Yayasan Guru Belajar, Jakarta tahun 2022 ini. 


"Saya mengirim tulisan tentang apa yang telah dilakukan di kelas, baik strategi, media, model pembelajaran atau metode, pokoknya saya bikin apa sama anak anak di kelas, saya tulis, terus saya kirim," jelasnya. 


Dari pengalamannya mengajar, pada tahun 2012 Bu Amel mengikuti lomba menulis kisah guru bertajuk “Pembelajaran yang Menyenangkan” tingkat Nasional dan memperoleh juara II. Raihan prestasi ini semakin membuat perempuan kelahiran 30 April 1974 itu terus bersemangat meningkatkan keilmuannya dengan mengikuti pelatihan-pelatihan guna mengembangkan kapasitasnya sebagai pendidik. Salah satunya mengikuti pelatihan guru Merdeka Belajar oleh Kampus Guru Cikal di Balaikota Yogyakarta. Selain itu juga meneruskan kuliah jenjang S2 meski dengan tertatih karena ketiadaan dana. 

 

"S2 saya modal nekat, karena sebetulnya dana mepet, jadi modal dari sertifikasi di akhir (waktu mengerjakan thesis), sempat terhenti dua tahun karena lagi-lagi nggak ada dana," ujarnya mengisahkan perjuangannya menyelesaikan jenjang magister.


Namun, ternyata setelah dua tahun sempat terhenti, tahun 2014 ternyata Bu Amel dilirik penerbit yang tertarik dengan tulisan-tulisan di blognya dan ditawari untuk menulis buku berjudul "Menyusun PTK itu Gampang" yang ternyata  best seller, dan royaltinya bisa digunakan untuk membayar kuliah terhutang sampai akhirnya bisa lulus. 

 

Usai lulus S2 jurusan Manajemen Pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, gairah menulis serta melakukan riset sepertinya semakin menggebu. Begitu juga semangat untuk terus berprestasi. Pada tahun 2017, perempuan alumni SMAN 1 Surakarta ini memperoleh kesempatan untuk mendapatkan penghargaan Guru dan Tenaga Kependidikan Berprestasi ke Finlandia dari Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Kementerian Agama setelah tahun sebelumnya menjuarai  Guru Madrasah Aliyah Berprestasi Tingkat Nasional. 

 

Kemudahan dalam menuntut ilmu kembali menjadi anugerah Bu Amel ketika mendapat beasiswa 5000 kategori guru dari Diktis Kemenag di Universitas Negeri Yogyakarta.

 

"Alhamdulillah, karena guru hanya terjatah 20 saja seluruh Indonesia, lainnya dosen. Untuk jurusan yang saya pilih Penelitian dan Evaluasi Pendidikan lumayan cukup menantang untuk orang IPS seperti saya, karena disana lebih banyak berhubungan dengan measurement yang dasarnya matematika," ucapnya mengingat rezeki beasiswa yang dia terima. 

 

Saat menempuh program Doktoral, dia mengaku harus ekstra mengatur waktu karena selain kuliah juga harus tetap mengajar dan juga tugas sebagai ibu rumah tangga. Jadi, setiap Senin-Kamis dia pergi kuliah kemudian pada hari Jumat-Sabtu mengajar di madrasah. 

 

"Alhamdulillah terlewati walau pelan-pelan, masa tugas belajar dan pembiayaan beasiswa hanya 3 tahun, dari 2018-2021, berikutnya saya keluar dana sendiri. Alhamdulillah selesai cumlaude dengan masa studi 4 tahun 21 hari dan tanpa ujian terbuka, karena 3 penelitian saya lolos jurnal internasional bereputasi scopus Q3 dan Q4," paparnya.

 

Selain itu, untuk menunjang biaya  penelitian dan published jurnal yang tidak termasuk dalam beasiswa, dia memanfaatkan dana dari hasil berbagi ilmu sebagai  instruktur guru penggerak dan sekolah penggerak oleh Kemendikbud dan juga instruktur dan penulis modul untuk Kemenag. "Jadi alhamdulillah bisa buat nambah-nambah biaya penelitian dan published jurnal," pungkasnya. 


Penulis: Nidlomatum MR
Editor: Zunus Muhammad

 

==================

Artikel ini diterbitkan dalam rangka Peringatan Hari Guru 25 November bertema "Berinovasi Mendidik Generasi" oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.