Nasional KONFERWIL NU DKI

Buka Konferwil XX NU DKI, Kiai Marsudi Jelaskan Tiga Model Penjaga Warisan NU

Jum, 2 April 2021 | 13:20 WIB

Buka Konferwil XX NU DKI, Kiai Marsudi Jelaskan Tiga Model Penjaga Warisan NU

“NU adalah sebuah warisan dari orang tua kita, sebagaimana Allah telah mewariskan kitab kepada kita yang hendaknya menjaga dan melaksanakan ajarannya. Begitu pula NU. Sebuah warisan besar dari ulama-ulama besar di republik ini,” tutur Ketua PBNU KH Marsudi Syuhud. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud secara resmi membuka gelaran Konferensi Wilayah (Konferwil) XX NU DKI Jakarta di Hotel Sultan Jakarta Pusat, pada Jumat (2/4) sore. Pembukaan tersebut ditandai dengan memukul gong sebanyak sembilan kali. 

 

Pada kesempatan itu, ia menyampaikan bahwa jamiyah atau organisasi NU merupakan sebuah warisan besar dari para ulama besar terdahulu yang harus dijaga. Namun, disebutkan pula bahwa terdapat tiga model atau karakter penjaga warisan NU ini. 

 

“NU adalah sebuah warisan dari orang tua kita, sebagaimana Allah telah mewariskan kitab kepada kita yang hendaknya menjaga dan melaksanakan ajarannya. Begitu pula NU. Sebuah warisan besar dari ulama-ulama besar di republik ini,” tutur Kiai Marsudi.

 

Ia mengutip surat Fatir ayat 32 yang artinya, Allah telah mewariskan kepada hamba-Nya sebuah warisan kitab (Al-Quran) sebagai warisan untuk dijaga. Di antara hamba-hamba itu terdapat tiga macam model yakni dzhalimun bi nafsih (menganiaya diri sendiri), muqtashid (pertengahan atau biasa-biasa saja), dan sabiqun bil khairat bi idznillah (mendahulukan berbuat kebaikan atas izin Allah).

 

Ketiga model tersebut, Kiai Marsudi lantas menganalogikan sebagaimana para pengurus NU yang mampu menjaga warisan organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. “Jadi orang yang menjaga warisan jamiyah (NU) ini ada tiga model. Mudah-mudahan calon penjaga warisan ini, termasuk model yang terbaik,” tutur Kiai Marsudi. 

 

Model pertama adalah para pengurus yang ketika diberi atau diamanahi warisan untuk dijaga justru senantiasa menganiaya dirinya sendiri. Namun, Kiai Marsudi berharap orang-orang seperti itu tidak ada yang menjadi pengurus NU DKI Jakarta ke depan.

 

“Jadi kalau dia belum jadi (pengurus) datang keliling ke cabang-cabang. Nanti kalau sudah keliling, sowan ke kiai-kiai cium tangan bolak-balik, hanya minta dimasukkan jadi pengurus. Setelah sudah masuk, kerjaan pertama adalah pelantikan. Setelah itu bikin kartu nama, kemudian hilang. Mudah-mudahan tidak ada di sini,” jelasnya. 

 

Sementara model yang kedua adalah pertengahan atau biasa-biasa saja. Terkadang datang, tetapi dalam kesempatan lain tidak hadir dalam pertemuan organisasi NU. Terkadang ikut iuran tetapi kadang juga tidak. 

 

“Kadang-kadang nongol, kadang-kadang gebrak-gebrak meja. Kadang-kadang juga hilang. Semacam ini, insyaallah tidak banyak tapi pasti ada,” terangnya.

 

Sedangkan model ketiga penjaga warisan NU merupakan orang-orang yang hendaknya dicari yakni mereka yang gemar berbuat kebaikan demi kemajuan organisasi. Para pengurus, kelak, berlomba-lomba untuk mengurusi NU. 

 

“Pagi ngurus NU, sampai tidur mengigau NU. Kata Gus Dur ada dua model orang NU. Disebut Gila NU dan NU Gila. Inilah yang kita akan cari,” katanya.

 

“Namun model pertama dan kedua adalah mereka-mereka yang meskipun jarang datang selama lima tahun dan hari ini datang tapi sesungguhnya Allah sudah memilih mereka-mereka itu walaupun jarang datang. Mereka termasuk alladzinasthafaina min ibadina (orang-orang yang menjadi bagian dari hamba Allah),” terang Kiai Marsudi.

 

Ia berharap, para calon pengurus PWNU DKI Jakarta ke depan yang model pertama agar ditingkatkan menjadi model yang kedua. Begitu pun pengurus yang model kedua agar segera meningkat ke model yang ketiga. 

 

Untuk model yang ketiga atau sabiqun bil khairat ia mencontohkan sekaligus menganalogikan pengurus NU dengan dua model hewan. Hal ini diungkapkan dalam sebuah syair yang dibacakan Kiai Marsudi. Hewan pertama adalah semut. 

 

“Semut ketika membangun rumah, semutnya kecil sekali tapi bisa bangun rumah sangat besar. Membangunnya itu dengan gandeng-renteng terus. Itu kalau bawa daun yang besar dari semut, itu bisa 10 hingga 20 semut bisa bergerak daunnya,” tutur Kiai Marsudi.

 

“NU itu seperti semut. Bangkitkan dan ajak mereka agar bisa membangun rumahnya sendiri yang besar. Tidak hanya rumah dzahir tetapi juga rumah agama yang jelas,” jelasnya. 

 

Kedua, hewan lebah yang juga mampu membangun rumah tetapi tidak sama seperti semut yang selalu bergandengan. Lebah itu, katanya, sekalipun bepergian ke mana pun tetapi akan tetap kembali ke rumah atau sarang yang telah dibuat sendiri. Rumahnya tidak akan ditinggal selamanya.

 

“Jadilah seperti lebah yang tidak harus bareng-bareng tetapi ketika pulang, pulangnya kembali ke rumah besar NU. Inilah yang kami harapkan,” tutup Kiai Marsudi. 

 

Untuk diketahui, pada acara pembukaan Konferwil XX NU DKI Jakarta ini, selain dihadiri oleh jajaran pengurus syuriyah dan tanfidziyah PWNU DKI Jakarta, tetapi juga hadir beberapa tokoh dari PBNU. Di antaranya Mustasyar PBNU KH Manarul Hidayat, Ketua PBNU KH Abdul Manan Ghani, dan Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Andi Najmi Fuaidi.

 

Hadir pula Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Rizal Patria, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Marullah Matali, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana, dan Wakil Ketua MPR RI H Jazilul Fawaid. 

 

Hadir juga utusan dari ormas keagamaan lain tingkat Provinsi DKI Jakarta yang diundang seperti Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Persis, Mathlaul Anwar, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN). 
 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan