Nasional

Cita Alex Komang untuk Film Indonesia

NU Online  ·  Kamis, 9 April 2015 | 14:01 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia Ngatawi Al-Zastrouw mengaku mengenal lebih dekat Alex Komang ketika sama-sama di Lesbumi. Di lembaga seni budaya NU itu, ia mengetahui Alex punya cita-cita film Indonesia ke depan.  
<>
Kesaksian Al-Zastrouw tersebut dikemukakan pada kegiatan bertajuk “Tahlilan, Diskusi, Monolog, Testimoni, Musik, dan Teater” bertema “Mengenang Sang Sahabat, Sang Inspirator, Sang Aktor Alex Komang” di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (9/4).

Menurut AL-Zastrouw, pada kegiatan yang digelar Lesbumi bekerja sama dengan Lembaga Teater Jakarta, dan Taman Ismail Marzuki, itu Alex Komang ingin menjadikan film Indonesia jadi “tuan rumah” di negeri sendiri. Tak hanya itu, juga menjadikannya sebagai juru bicara kepada bangsa lain.

Makanya, kata dia, melalui Lesbumi Alex berusaha mewujudkannya melalui festival teater dan film untuk kalangan santri. “Itu semacam wasiat Alex Komang untuk terus dilaksanakan Lesbumi,” katanya. Wasiat itu, lanjutnya, baru satu yang terwujud, yaitu Festival Film Santri yang digelar tahun 2012.

Lebih jauh, ia menambahkan, Alex yang bernama asli Saifin Nuha kelahiran Jepara Jawa Tengah, tersebut prihatin akan selera film masyarakat kita. Ketika ada film bagus pun, “jamaah bioskop” kurang mengapresiasinya.

Hal itu, Alex yang Wakil Ketua Lesbumi, berpandangan karena ada kesenjangan antara masyarakat dan dunia film. Untuk menjembatani itu, lanjut Zastrouw, Lesbumi sudah mengupayakan dengan Warung Sinema untuk menarik warga NU ke dunia film.

Pegiat teater Jose Rizal Manua sependapat Alex yang dikemukakan Al-Zastrouw. Menurut dia, kesenjangan itu disebebakan pelaku film Indonesia sering membuat penonton Indonesia merasa asing dari film yang dibuat. Mereka tidak memasukkan unsur-unsur kebudayaan yang bercita rasa masyarakatnya. “Mereka merasa ini bukan gua banget,” ungkapnya.

Menurut dia, hal itu terjadi karena jarang sutradara yang membaca dan turun mengamati kehidupan masyarakat. Mereka duduk di depan laar komputer, kemudian membuat film. “Beda sekali dengan pembuat film Indonesia tahun 70-80an. Tonton saja film SI Doel karya Sjumandjaya,” katanya.

Ia menambahkan, yang masih kentara memahami masyarakatnya adalah para filmeker yang membuat film dokumenter.

Mengomentari Jose Rizal, Al-Zastrouw menyebut dua hal untuk menjelaskan keadaan itu. Pertama karena pembuat film yang mengedapankan yang penting laku, bukan kualitas. Dalam hal ini, uang yang menjadi tujuan, bukan mencerdaskan masyarakat. Kedua karena memang mereka tidak mau repot-repot memahami keadaan masyarakat. (Abdullah Alawi)