Nasional

Dalam Sengketa Tanah, Rakyat Selalu Kalah

Jum, 29 Agustus 2014 | 18:01 WIB

Jakarta, NU Online
Warga Nahdlatul Ulama di beberapa daerah menghadapi sengketa tanah dengan pihak-pihak seperti perusahaan tambang. Diantara daerah itu adalah Banyuwangi, Rembang, Pati, Kulonprogo, Kebumen, Cilacap, dan Lampung dan daerah-daerah lain.
<>
Menurut aktivis dari Institute Titian Perdamaian Ihsan Malik, sengketa tanah di Indonesia yang kebanyakan dihadapi warga NU, mencapai 5000-a kasus.

“Jadi kalau kita lihat, yang dicatat oleh Badan Pertanahan Nasional, mereka
ada khusus deputi menangani kasus tanah, kurang lebih ada 5 ribuan kasus tanah berkaitan dengan sumber daya alam ini,” katanya ketika ditemui NU Online selepas diskusi Membaca Konflik Indonesia dan Dunia yang digelar Pengurus Pusat Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama di Hotel Milenium Kebon Sirih, Jakarta Kamis (28/8).

Ihsan menyebutkan kasus-kasus itu belum pernah ada penyelesainnya sampai sekarang. “Kalaupun ada yang selesai, paling satu dua ya dari ribuan itu.”

Ia sepakat dengan apa yang diungkapkan Ketua PBNU Imam Azis yang mengatakan, kasus tanah dan sumber daya alam ini sangat berbahaya karena sering berkaitan dengan nyawa seseorang. “Emang tidak sekuat agama daya rusaknya, tapi tanah itu bisa nyawa pun diserahkan untuk mempertahankannya. Jadi artinya apa, dia juga daya rusaknya tinggi,” tegasnya.

Ia menyesalkan kasus-kasus itu belum terselesaikan. Sebab kalau bisa meledak suatu saat. Bukan hanya soal agama, etnis, ras atau golongan, tapi sengketa tanah juga bisa menyebabkan konflik besar.

Ihsan menambahkan, kalaupun selesai, kasus tanah terselesaika, selalu rakyat yang dikalahkan. “Selama ini rakyat selalu kalah. Kalau ada urusan tanah, pasti dia menjadi korban. Sudah waktunya dia win win (sama-sama menang).”

Ihsan mengajukan dua tawaran penyelesaian. Menurutnya penyelesaian konflik ini diantara dua bandul. Antara kepastian hukum dan keadilan di sisi lain. Rakyat menuntut keadilan, sementara negara menuntut kepastian hukum.

“Jadi bagaimana menemukan titik kepastian hukum dan keadilan. Bagaimana kedua pihak ini win win. Sekarang negara bisa mengakomodir, ada win, jangan selalu untuk menyelesaikan kasus yang kayak begini, kalah-kalah. Pemerintah kalah, rakyat kalah. Kita mulai dorong prinsip win win solution. Pemerintah menang, rakyat menang,” terangnya.

Pemerintah, kata dia, selama ini cuma bersikukuh di kepastian hukum, berkutat pada Undang-Undang. Padahal ada penyelesaian yang lebih baik. Ia mencontohkan kasus di taman nasional Kerinci. Di tempat itu bersengketa antara negara dan penduduk yang sudah lama tinggal di situ, bercocok tanam lama di situ.

Menurut Ihsan, masyarakat di situ harus diberi wilayah khusus untuk bercocok tanam dan tempat tinggal. Tapi harus ditentukan juga batas taman nasional yang tak boleh diganggu. “Win untuk rakyat, win untuk pemerintah,” pungkasnya. (Abdullah Alawi)