Nasional

Danarto Pentashih Cerpen Pertama Gus Mus

Sel, 10 April 2018 | 18:15 WIB

Jakarta, NU Online
Gus Jakfar merupakan cerpen pertama KH Ahmad Mustofa Bisri. Cerpen tersebut masuk dalam cerpen terbaik Kompas tahun 2004. Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi karyanya yang memuat cerpen itu  berhasil merebut penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).

Pada sekitar tahun 2009, kiai yang akrab disapa Gus Mus itu didapuk untuk membaca cerpen pada sebuah acara bertajuk Haflah Seni dan Dakwah. Di hadapan Penyair Taufiq Ismail, ia berkisah bahwa ia diminta oleh penulis antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia itu untuk menjadi penyair seperti dirinya.

“Mudah kok Mas jadi penyair itu. Enak loh mas,” kata Gus Mus menirukan gaya berbicara Taufiq Ismail.

“Enaknya gimana?” tanya Gus Mus. “Kalau orang baca syair sampean ini, keliru misalnya, itu yang disalahkan gak sampean. Yang disalahkan dirinya sendiri,” ujarnya membahasakan jawaban penyair angkatan ’66 itu.

“Wah saya gak paham ini, terlalu tinggi,” cerita Gus Mus merendah.

Selain cerita kepenyairannya, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu juga berkisah tentang penulisan cerpennya yang fenomenal itu. Mulanya ia bertemu dengan para cerpenis. Seperti Taufiq Ismail yang memintanya menjadi penyair, ia juga diminta oleh cerpenis itu untuk menulis cerpen.

“Nulis puisi bisa kok nulis cerpen ndak bisa. Semua penyair itu bisa nulis cerpen itu,” Gus Mus bercerita.

Karena itulah, ia mulai menulis cerpen untuk pertama kalinya pada tahun 2004. Setelah jadi, cerpen pertamanya itu kali pertama ia tunjukkan pada Danarto yang sudah dikenal sebagai cerpenis andal.

“Saya nulis pertama kali ini saya tunjukkan dulu kepada kawan yang biasa nulis cerpen dan cerpenis betul, namanya Danarto, itu,” ujar Gus Mus kepada hadirin yang menyimak betul apa yang disampaikan olehnya.

“Mas, sampean nyuruh-nyuruh saya bikin cerpen. Ini saya sudah jadi coba sampean lihat. Lihat ini sudah cerpen apa belum,” lanjutnya.

Setelah dibaca, ia pun memberikan komentarnya dengan kalem. “Ini sudah cerpen, Mas. Tapi terlalu panjang,” kata Mustasyar PBNU itu pelan, berusaha meniru kekaleman Danarto.

“Ndak ada koran yang mau muat apalagi Kompas. Karena, Kompas itu terlalu hemat terhadap kolom. paling jauh 10.000 karakter sajalah. Ini kok sampe 22 ribu karakter,” lanjut Gus Mus menceritakan kritik dari Danarto itu.

Gus Mus pun kebingungan memilih cerita mana yang mestinya dibuang. Kalau dibuang salah satu bagiannya, malah tidak jadi cerpen. Tetapi, ia pun akhirnya memaksakan kehendaknya untuk mengirimkan cerpen panjang itu.

“Menang cacak kalah cacak, saya kirimkan aja ke Kompas. Nanti kalau dikembalikan ya sudah,” katanya.

Cerpen itu pun dimuat satu halaman penuh di Kompas. “Mungkin Danartonya juga kagum itu, kok bisa dimuat itu,” katanya.

Sosok yang dipercaya membaca cerpen pertamanya Gus Mus itu kini telah berpulang akibat kecelakaan yang menimpanya. Meskipun jasadnya sudah tak lagi bernyawa, karyanya akan terus hidup dan menghidupkan pembacanya. (Syakir NF/Muiz)
sumber: https://youtu.be/lRnBHo-3chE