Nasional HARLAH NU

Daripada Kata 'Shalat', Wali Songo Pilih 'Sembahyang'

Jum, 1 Februari 2013 | 12:02 WIB

Jakarta, NU Online

Walisongo sebagai tokoh masyarakat menjaga dan melestarikan bahasa daerah dimana mereka menyebarkan agama Islam. Mereka mempertahankan kata ‘sembahyang’ daripada kata ’shalat’ untuk praktik ibadah harian yang lima waktu.

<>
Perihal ini disampaikan oleh Agus Sunyoto, penulis buku ‘Atlas Wali Songo’ dalam acara pengajian budaya dan diskusi terbuka yang diselenggarakan LTNNU di halaman parkir kantor PBNU, Kamis (31/1) malam.

“Wali Songo membiarkan bahasa yang berkembang di masyarakat dakwah mereka sebagaimana apa adanya,” tegas Agus Sunyoto di hadapan ribuan hadirin yang memadati halaman parkir PBNU.

Dalam menjalankan praktik dakwah, Wali Songo tidak berupaya melakukan proses Arabisasi  dari sisi bahasa. Bagi mereka, proses Arabisasi bahasa akan membuat jurang dalam antara mereka dan masyarakat setempat, tambah Agus Sunyoto di forum pengajian budaya yang juga dihadiri oleh Kang Said Ketua Umum PBNU dan Emha Ainun Najib, Cak Nun.

Agus Sunyoto menyatakan bahwa penghargaan Wali Songo terhadap bahasa masyarakat menjadi satu penyebab keberhasilan dakwah mereka dalam waktu singkat. Dalam masa 50 tahun dakwah, masyarakat bahkan para adipati yang berkuasa di sepanjang pesisir utara Jawa di tahun 1515 telah memeluk Islam.

Sebelum tahun itu, sejumlah pendakwah Islam sudah datang di Indonesia sejak berabad-abad. Namun, mereka tidak dapat diterima oleh masyarakat karena pendekatan Arabisasi yang digunakan, imbuh Agus Sunyoto.

Begitu juga kata ‘puasa’. Wali Songo lebih memilih kata itu daripada kata, ‘shaum’ atau ‘shiyam’. Dari situ, Wali Songo menyebarkan agama Islam tanpa mengubah identitas kebudayaan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang diwakili oleh bahasa setempat. Jadi pribumisasi Islam merupakan terobosan cara dakwah yang dipakai Wali Songo , tutup Agus Sunyoto.

Penulis: Alhafiz Kurniawan