Nasional

Di Debat Pertama, Para Capres Belum Sampaikan Komitmen Pemenuhan HAM Secara Konkret

Kam, 14 Desember 2023 | 10:00 WIB

Di Debat Pertama, Para Capres Belum Sampaikan Komitmen Pemenuhan HAM Secara Konkret

Capres RI: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan usai melaksanakan debat, di Kantor KPU, Selasa (12/12/2023). (Foto: Instagram @prabowo)

Jakarta, NU Online

Debat pertama calon presiden, yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum RI pada Selasa (12/12) malam, membahas berbagai topik seperti pemerintahan, hukum, hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, peningkatan layanan publik, dan kerukunan warga.


International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di dalam keterangan persnya menilai, debat resmi pertama ketiga capres yang berlangsung selama lebih dari dua jam itu belum memberikan jawaban mengenai pemenuhan HAM secara konkret.


Anies Baswedan, Prabowo Subianto, maupun Ganjar Pranowo cenderung memberikan jawaban-jawaban naratif, normatif, dan belum menyentuh aspek alternatif kebijakan dan regulasi. 


“Padahal, praktik pemenuhan HAM di seluruh sektor sangat berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang merujuk kepada adanya kebijakan dan regulasi yang konkret, baik di tingkat nasional maupun daerah,” demikian bunyi keterangan pers INFID yang diterima NU Online, Rabu (13/12/2023). 


Kemudian, ketiga capres tidak banyak menyampaikan gagasan pemenuhan HAM pada sektor yang lebih luas. Gagasannya pun cenderung seputar isu pelanggaran HAM yang berhubungan dengan penghilangan nyawa dan kasus orang hilang. 


Padahal, Indeks HAM 2023 dari Setara Institute dan INFID menunjukkan bahwa terjadi penurunan skor indeks HAM yaitu 3,2 (2023) dari sebelumnya 3,3 (2022) pada rentang skala 0-7,00. Rendahnya skor ini juga terlihat pada aspek pemenuhan HAM di sektor hak sipil politik, serta hak ekonomi, sosial, dan budaya.


Selain itu, para capres tidak membahas secara mendalam mengenai pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Berdasarkan Indeks HAM 2023, terdapat penurunan skor KBB yakni dari sebelumnya 3,7 pada 2022 menjadi 3,4 di 2023. 


INFID menyoroti pemaparan dari capres nomor urut 1 Anies Baswedan yang mengklaim kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta telah mampu mengeluarkan izin pendirian rumah ibadah dengan jumlah tertinggi. 


“Namun hasil fact check masih didominasi pada izin rumah ibadah agama mayoritas,” demikian jelas INFID dalam rilisnya.


INFID juga menilai, skor pemenuhan hak KBB yang menurun membuktikan semakin lekatnya iklim intoleransi, diskriminasi, dan pelanggaran KBB lainnya. INFID menyebutkan beberapa kasus penolakan pendirian tempat ibadah di Indonesia. 


Di antaranya Gereja Elim Kristen Indonesia di Kota Medan, Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Rhema Sandubaya di Mataram, Gereja Manunggal Kasih Pancasila di Semarang, Masjid Yayasan Imam Syafii di Jember, Gereja Wesleyan Indonesia El Shaddai di Tegal, hingga pembakaran balai pengajian milik Muhammadiyah di Bireun, Aceh.


Penolakan atas pendirian rumah ibadah itu adalah beberapa potret dari banyaknya hak KBB yang belum terlindungi oleh negara. Akar dari masifnya gangguan terhadap pendirian rumah ibadah adalah karena belum direvisinya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 (PBM 2 Menteri).
 

Di lingkungan pendidikan, pembatalan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang pembebasan penggunaan pakaian di sekolah melanggengkan kasus pemaksaan atribut keagamaan di berbagai tingkat pendidikan. Di antaranya pemaksaan pemakaian jilbab di SDN Jomin Barat Cikampek, Karawang hingga penggundulan siswi karena tidak menggunakan dalaman hijab di Jawa Timur. 


“Komitmen-komitmen konkret dalam menghadirkan regulasi yang inklusif untuk menjawab permasalahan ini belum terlihat dari ketiga capres, sehingga belum ada terobosan baru pemenuhan HAM yang tersampaikan dalam debat kemarin,” jelas INFID.


Ketiga capres juga belum ada yang secara gamblang menekankan komitmennya untuk mengupayakan pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa dan pembentukan regulasi dalam bentuk ratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT). 


Penurunan skor paling telak yakni hak atas tanah pada Indeks HAM 2023 sebesar -1,5 dibanding Indeks HAM 2019 dan -0,3 dibanding pada Indeks HAM 2022 menjadi implikasi dari masih menjalarnya konflik agraria. 


Pada banyak kasus terkait konflik agraria, banyak berujung pada intimidasi, kriminalisasi, bahkan korban pada pejuang HAM dan Lingkungan. Selain itu, gagasan konkret dalam pemenuhan, perlindungan, dan pemulihan cepat hak para pembela HAM dan lingkungan juga tidak dibahas sepanjang sesi debat.


Atas dasar itu, INFID menuntut seluruh paslon memiliki prioritas penegakan HAM dalam programnya, di mana langkah-langkah afirmatifnya tertuang secara konkret, gamblang, dan terukur.


Presiden mendatang merupakan aktor kunci lahirnya regulasi dan sistem pemerintahan yang berperspektif HAM yang lebih baik. Kepiawaian capres dalam memetakan masalah dari hulu ke hilir, pada level daerah hingga pusat, dan melihat serta mengambil kebijakan yang tepat sangatlah vital. 


Karena itu, komitmen penegakan HAM harusnya bukan hanya terangkai dalam pesan-pesan naratif dan normatif semata, namun menjangkau kepada penjabaran strategi yang dapat dipertanggungjawabkan perwujudannya dan ditagihkan komitmennya.


Jawaban-jawaban para capres soal pemenuhan HAM

Ganjar Pranowo bertanya kepada Prabowo Subianto tentang 12 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diidentifikasi, termasuk kejadian-kejadian seperti peristiwa 65, penembakan misterius, Talangsari, penghilangan paksa, hingga peristiwa di Wamena. 


Sebagaimana diketahui, DPR telah mengeluarkan empat rekomendasi kepada presiden. Rekomendasi tersebut mencakup pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, penemuan 13 korban penghilangan paksa, pemberian kompensasi dan pemulihan, serta meratifikasi anti penghilangan paksa sebagai langkah pencegahan.


"Pertanyaan saya ada dua, kalau bapak ada di situ, apakah akan membuat pengadilan HAM dan membereskan rekomendasi DPR? Pertanyaan kedua, di sana banyak menunggu ibu-ibu, apakah bapak bisa membantu menemukan di mana kuburnya yang hilang agar mereka bisa berziarah," ujarnya.


Kemudian Prabowo Subianto menjawab bahwa masalah ini sudah ditangani oleh Menko Polhukam Moh Mahfud MD yang merupakan cawapres dari Ganjar. Dengan begitu, Prabowo merasa sudah tak ada lagi yang perlu ditanyakan kepada dirinya. 


Prabowo mengaku telah menjawab pertanyaan mengenai HAM ini secara berulang kali dan informasinya telah direkam. Ia merasa, pertanyaan itu dipolitisasi dan dimunculkan setiap lima tahun ketika dirinya hendak mencalonkan diri sebagai Presiden. 


"Jadi saya katakan, saya merasa bahwa saya yang sangat keras membela HAM," tegas Prabowo.


Sementara itu, Anies Baswedan menanyakan kepada Ganjar Pranowo perihal Peristiwa KM 50 dan Tragedi Kanjuruhan banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat. Menurut Anies,  keadilan belum muncul di dalam dua peristiwa yang banyak merenggut nyawa itu.


"Saya posisinya adalah ini harus dituntaskan, harus menghadirkan rasa keadilan, bukan hanya soal ligelnya yang sudah diselesaikan. Saya ingin tanya, (di mana) posisi Pak Ganjar di dalam dua peristiwa ini?" ujar Anies.


Ganjar menyatakan sepakat dengan pernyataan Anies bahwa dua peristiwa tersebut memang mendapatkan sorotan dari masyarakat.


"Kita bisa bertemu dengan para pencari fakta, kita bisa melindungi korban, kita bisa membereskan urusan mereka dari sisi keadilan korban, termasuk di KM 50. Ketika kita bisa bereskan semuanya, maka kita akan naik dalam satu tahap," jawabnya.


Ganjar menjelaskan, pemerintah harus memiliki keberanian untuk tidak terus menyandera masalah masa lalu agar tidak berlarut-larut. Konsekuensinya, jika masalah itu terus muncul tanpa adanya keputusan, maka akan menimbulkan sensitivitas yang terus berlanjut karena keputusan tidak pernah diambil. Menurutnya, pemerintah sebenarnya bisa menuntaskan masalah tersebut jika benar-benar berkomitmen.


Menurut Ganjar, solusinya adalah dengan mengusulkan kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) agar masalah pelanggaran HAM bisa diselesaikan. Hal ini akan membantu kemajuan bangsa tanpa terjebak dalam masalah yang tampaknya belum terselesaikan. Sebab kasus-kasus seperti itu sangat membutuhkan penyelesaian.