Jakarta, NU Online
Bunyi rebana berdentam-dentam memecah malam di gang Telaga Dua, Kelurahan Sunterjaya, Jakarta Utara Selasa malam (2/12). Dentaman itu dari kejauhan bersuara dug tak dung dung dung. Suara itu mengiringi puji-pujian atas keluhuran akhlak Kanjeng Nabi Muhammad dalam bahasa Arab.
<>
Tak kurang 70 orang duduk di atas tikar dan karpet, berderet di tepi kiri-kanan gang berukuran 3 meter itu. Pada mulut gang, deretan orang sepanjang 50 meter itu, dihuni para lelaki tua dan muda. Mereka sila berhadap-hadapan menyisakan 1, 5 ruang kosong.Pakaian mereka rata-rata baju panjang, bersarung, menutup kepala dengan peci hitam, putih, dan blangkon. Ada pula yang membiarkan kepalanya telanjang.
Makin ke dalam gang, deretan kemudian dihuni ibu-ibu berkerudung, berbaju kurung, atau celana panjang dengan baju panjang. Sementara para gadis hampir seragam berrok batik dengan beragam motif.
Di hadapan mereka, tersedia botol-botol air mineral ukuran tanggung lengkap dengan sedotannya. Sebagian masih tertutup, sebagian lagi dibiarkan terbuka langsung menghadap langit.
Di kiri-kanan gang itu rapat dengan rumah. Tak ada rongga yang memisahkannya. Rumah-rumah tak berhalaman. Jika penghuninya melongokkan kepala, ia akan langsung berada di tempat yang bisa dilalulalangi orang mana pun.
Kendati demikian, di depan rumah-rumah ditempatkan pot-pot beragam bunga dan pepohonan yang dibonsai. Sebagian pot itu digantung, tertempel di dinding, berdekatan dengan jemuran berupa tali atau galah. Ada sangkar burung. Ada tiang tiang antena tv.
Dari mulut gang sesekali berembus angin kencang, mengirim bau got dan debu. Di sana sesekali lewat motor, bocah berlarian bersama temannya atau tukang siomay mendorong gerobak sambil mengetuk kentungannya.
Sekali waktu orang-orang itu berdiri, tapi tetap membacakan puji-pujian untuk Kanjeng Nabi Muhammad. Rebana tak henti-hentinya juga mengiringi. Suara basnya berdentam berat.
Seseorang kemudian berdiri. Ia mengatakan, Barzanji itu karangan orang Prancis. Nabi Muhammad pernah mengatakan, suatu saat, ada orang-orang yang jauh dari Arab, tapi mereka membacakan shalawat untuk nabinya. “Termasuk kita di sini, di gang ini,” katanya.
Orang yang bicara itu Ir Suadi Pranoto, pengurus harian Pimpinan Pusat Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa. Ia sedang menyampaikan kata sambutan pada pengajian kerja sama antara lembaganya dengan Majelis Diniyah Al-Fatah.
Kata Suadi, shalawat itu selain doa, juga mengandung obat. Allah bershalawat dan memerintahkan malaikat melakukannya, “kita umatnya Nabi Muhammad masa tidak melakukannya,” katanya.
Duduk lesehan membaca shalawat, lanjut Suadi, kita mengingat pada perjuangan ulama yang merintis dakwah di Nusantara. Menurut dia, Islam sudah disebarkan ke Nusantara sejak zaman sahabat Usman bin Affan, tapi tidak berkembang dengan baik.
Suadi berpendapat, Islam kemudian berkembang pada zaman Wali Songo yang menyebarkan agama dengan pendekatan budaya, bukan debat. Wali Songo menyebarkan Islam dengan tali asih, banyak silaturahim. “Ke sini, minimal dapat kita dapat kacang, dapat teman, serta doa,” katanya.
Kemudian ia memperkenalkan bahwa Pagar Nusa itu sayapnya NU. Sayap itu artinya “khodim” (pelayan) masyayikh (para kiai) dalam berdakwah. Sementara istilah organisasinya adalah badan otonom (banom).
Di Pagar Nusa, kata dia, di samping bisa pencak silat, bisa juga silat lidah. Tak ada batasan usia, anak PAUD sampai manula bisa ikut. “Kekeluargaan di Pagar Nusa tidak dibatasi jenis kelamin dan umur. Keanggotaannya pun sampai meninggal. Meninggalnya orang NU masih tetap anggota sebab masih didoakan,” katanya.
Dari salah satu rumah, kemudian dikeluarkan beragam makanan yang dialasi piring putih.
Pisang, roti yang dikerat tipis, ubi jalar dan singkong rebus, gorengan, putu ayu, jagung rebus yang dipotong-potong diedarkan di hadapan mereka. Makanan itu pindah dari satu tangan ke tangan lain. Kemudian berhenti ketika terbagi dengan rata. Mulut-mulut pun mulai mengganyang.
Lalu kunyahan mereka serempak berhenti ketika seseorang, dengan mikropon di tangan, menyebutkan istigotsah akan dimulai. Selembar poto kopian bertulisakan Arab diangsurkan dari satu tangan ke tangan lain. Itulah bacaan istigotsah Selasa Kliwon Pagar Nusa.
Di atas, sepotong bulan menggantung di langit. Sesekali terang, lain kali tertutup awan. Sementara di bawah, di sebuah gang, puluhan orang berdoa langsung beratap langit. (Abdullah Alawi)
Terpopuler
1
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Karena Sebut Peristiwa Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor
2
Mendesak! Orientasi Akhlak Jalan Raya di Pesantren
3
40 Hari Wafat Gus Alam, KH Said Aqil Siroj: Pesantren Harus Tetap Hidup!
4
LD PBNU Ungkap Fungsi Masjid dalam Membina Umat yang Ramah Lingkungan
5
Mendaki Puncak Jabal Nur, Napak Tilas Kanjeng Nabi di Gua Hira
6
Orang-Orang yang Terhormat, Novel Sastrawan NU yang Dianggap Berbahaya Rezim Soeharto
Terkini
Lihat Semua