Nasional

Fiqih Nusantara dan Pentingnya Lokalitas

Kam, 23 Juli 2020 | 22:45 WIB

Fiqih Nusantara dan Pentingnya Lokalitas

Menurut Imdadun Rahmat isi buku Fiqh Nusantara lebih eksklusif dan dianggap efektif untuk mengajak organisasi masyarakat untuk memahami Islam Nusantara secara mendalam (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Wakil Sekjen PBNU M Imdadun Rahmat menganalogikan bahwa buku Fiqh Nusantara karya Wakil Ketua LDNU Jawa Timur, KH M Noor Harisudin ibarat telepon yang canggih. "Kecil tapi isinya lengkap dan menarik," kata Imdadun Rahmat pada diskusi daring, Rabu (22/7).

 

Imdad kemudian melanjutkan bahwa Fiqih Nusantara juga kuat dalam metode istinbat atau menggali hukum Islam. Ia pun menjelaskan tentang pentingnya lokalitas masyarakat Indonesia. Menurut Imdadun Rahmat isi buku Fiqh Nusantara lebih eksklusif dan dianggap efektif untuk mengajak organisasi masyarakat untuk memahami Islam Nusantara secara mendalam.

 

"Tapi untuk ormas baru masih kurang mengajak atau menyelami tentang fiqih Nusantara dan Islam Nusantara," katanya.

 
KH M Nur Hayyid memberikan tanggapan juga masukan yakni buku harus dijelaskan makna di dalamnya. Fiqih yang dimaksud apakah umum atau khusus, perlu diperluas seperti karya Imam Hanafi agar menjadi sebuah buku yang mendunia. Menurutnya, harus buku tersebut harus disosialisasikan kepada masyarakat terutama kepada masyarakat awam, serta menekankan epistemologi, ontologi dan juga aksiologi.

 

"Di dalam buku harus ada tentang strategi Islam Nusantara dan Fiqih Nusantara dalam memberikan pemahaman keduanya," ujar Wakil Ketua LD PBNU tersebut. 

 

Seentara itu, penulis buku Fiqih Nusantara, KH Muhammad Noor Harisudin pada satu kesempatan mengatakan setidaknya ada empat nalar fiqih yang menjadi dasar dan metodologi penetapan fiqih Islam Nusantara. Pertama, mempertemukan syariat antara nash dan tujuan syariat. Ia mengutip Ibnu al-Qayyim, "Sesungguhnya syari’at itu bangunan dan fondasinya didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) dan kemaslahatan para hambanya di dunia dan akhirat. Syariat secara keseluruhannya adalah keadilan, rahmat, kebijaksanaan dan kemaslahatan.

 

Karena itu, segala perkara yang mengabaikan keadilan demi tirani, kasih sayang pada sebaliknya, kemaslahatan pada kemafsadatan, kebijaksanaan pada kesia-siaan, maka itu bukan syari’at, meskipun semua itu dimasukkan ke dalamnya melalui interpretasi.

 

Kedua, penetapan syariat berdasarkan ilat, hikmah, dan kemaslahatan. Menurutnya, termasuk dalam katagori ini adalah tahqiqul manath dalam beberapa kasus seperti makan kepiting, dan lain-lain.

 

"Tahqiqul manath adalah meneliti dan menganalisis secara mendalam untuk menetapkan ilat yang dijelaskan dalam nash, ijma’, dan istinbath, dalam kasus yang tidak ditetapkan nash. Misalnya, kepiting yang ada di Indonesia halal karena tidak bisa tergolong hewan yang hidup di dua tempat," paparnya.

 

Ketiga, melihat adat serta kebiasaan dalam penetapan hukum. Maksud dari adat dan kebiasaan di sini sebagaimana yang disampaikan Wahbah al-Zuhaili, "Sesuatu yang dibiasakan manusia dan dijalaninya dari tiap perbuatan yang telah populer diantara mereka atau juga lafaz yang dikenal dengan sebuah arti khusus yang tidak dicakup bahasa serta hanya memungkinkan makna ketika didengarkan."  

 

Keempat, mengamalkan konsep sad adz-dzari’ah. Maksud dari sad adz-dzari’ah adalah, "Setiap perbuatan yang menjadi wasilah pada sesuatu yang dilarang, maka hal yang demikian juga dilarang."
 

Kontributor: Wildan Rofikil Anwar, Endang Agoestian
Editor: Kendi Setiawan