Jakarta, NU Online
Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Bidang Pertanian, Kedaulatan Pangan dan ESDM Adhe HM Musa Said menyampaikan, dua tahun pemerintahan Jokowi-JK tidak menunjukan tren membaik dalam ketersediaan beras. Bahkan cenderung makin memburuk.
Adhe mengutip rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) per Januari-September 2016 yang menginformasikan total impor beras Indonesia mencapai 1,14 juta ton atau senilai US$ 472,5 juta. Sedangkan untuk periode yang sama di tahun sebelumnya, impor beras hanya sebesar 229, 6 ribu ton atau setara US$ 99,8 juta.
Menurut Adhe, rilis BPS tersebut adalah tamparan keras bagi pemerintah Jokowi-JK karena telah menunjukkan kecenderungan yang sangat buruk dalam program swasembada beras.
Namun anehnya, sekitar dua minggu lalu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjamin Pemerintah Indonesia tidak akan mengimpor beras. Sebab, kebutuhan beras di dalam negeri masih cukup hingga tahun depan.
“Mendag mengklaim saat ini tidak ada satupun izin impor yang dikeluarkan dirinya. Pertanyaannya, lalu siapa yang meng impor beras? Data impor dari mana BPS? Bahkan melalui media Menteri Pertanian Amran Sulaiman merespon data BPS dengan menyebut bahwa impor beras tersebut masih sangat kecil dibanding data produksi beras,” ungkapnya melalui siaran pers Jumat (21/10).
Adhe malah mempertanyakan data produksi tersebut dari mana. Sepengetahuannya yang punya otoritas data pemerintah yang resmi adalah BPS. Sampai hari ini BPS belum mengeluarkan rilis data produksi beras dalam negeri. Salah data bisa bahaya negeri ini.
Oleh karena itu, Adhe mengimbau agar Presiden tegas terhadap menteri-menterinya yang sembarangan mengeluarkan data karena hal tersebut bisa membuat bingung iklim investasi.
Arogansi pemerintah, lanjutnya, sebagaimana Mentan Amran yang menganggap remeh angka impor yang sangat besar akan menambah keterpurukan kemampuan menyediakan beras sendiri akan semakin mempersulit upaya pemerintahan Jokowi-JK memperbaiki kesejahteraan petani. Sistem, kebijakan dan, tata kelola pertanian yang harus dibenahi dengan benar, bukan sedikit-sedikit impor apalagi setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.
“Sekarang hampir semua jenis hasil bumi diimpor, padahal apa yang tidak bisa tumbuh di tanah air Indonesia yang begitu subur. Apa yang tidak bisa dibudidayakan dan dikembangkan di tanah yang subur ini, untuk menghasilkan produksi yang maksimal. Kalau cara kelolanya benar, kebijakanya benar dan mata rantai distribusi hasil pertanian dibenahi, maka tidak akan perlu impor,” jelasnya.
GP Ansor menilai du tahun menjabat sebagai Menteri Pertanian belum ada terobosan yang signifikan. Harusnya begitu jadi menteri Amran Sulaiman melakukan evaluasi dan pemetaan masalah terkait dengan pertanian di Indonesia agar kebijakan yang keluar betul-betul bisa dirasakan. Pemerintah mengalokasikan anggaran pertanian yang ditingkatkan dan tepat sasaran untuk budidaya tanaman padi dan lainnya.
“Ini baru bicara padi dan beras. Belum lagi kita bicara buah-buahan yang hampir semuanya impor sekarang. Seharusnya kita malu. Negeri ini malu kalau harus impor terus-menerus. Kita punya lahan, ahli pertanian, petaninya juga punya, cuma pemerintahnya melalui Menteri Pertanian tidak mampu menjaga dan mencari tetobosan untuk mengelola pertanian di negeri ini,” lanjutnya.
Adhe menegaskan, petani kita butuh jaminan pengaturan yang pasti, pasar yang jelas, harga yang stabil, penegakan hukum, pendidikan pertanian yang baik, jaminan sosial, kesehatan.
“Jangan biarkan petani kita bermimpi jadi TKI/TKW karena biaya hidup makin tinggi dan mereka harus keluar negeri untuk berburu dolar, dinar, real di negeri orang karena pemerintah tidak bisa menjamin adanya pekerjaan di negeri sendiri yang seharusnya sudah makmur dan bisa menghidupi rakyatnya.”
Jika Presiden membiarkan masalah pertanian ini berlarut-larut, katanya, jangan harap bisa tepilih kembali untuk periode (kedua) yang akan datang. (Red: Abdullah Alawi)