Nasional

Gugat Qanun Jinayat, GP Ansor Aceh Nilai Direktur ICJR Tak Paham Hukum

Ahad, 4 Oktober 2015 | 22:00 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Aceh, Samsul B Ibrahim menilai gugatan terhadap Qanun Jinayat yang dilakukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tidak berdasar. Seharusnya Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono yang menabalkan diri paham hukum memahami konteks kekhususan Aceh melalui Undang-undang Pemerintah Aceh.
<>
“Itu artinya dia tidak paham hukum. Dia tidak memahami kekhususan Undang-undang Pemerintah Aceh dan esensi dari Qanun Jinayat itu sendiri. Karena kami melihat, sesungguhnya Qanun Jinayat memuat semangat preventif sehingga tercipta kondisi sosial yang islami,” tutur Samsul, Ahad (4/10/2015), dalam siaran pers.

Menurut Samsul, secara umum Qanun Jinayat benar-benar mengandung enam prinsip hukum yakni asas keislaman, legalitas, berkeadilan, kemaslahatan, pembelajaran (tadabbur), bahkan perlindungan hak asasi manusia (HAM) yang begitu diagung-agungkan oleh Supriyadi. Dengan demikian, tudingan Supriyadi yang menyebutkan Qanun Jinayat rentan menyasar korban perempuan, anak-anak dan LGBT justru terbantah dengan sendirinya. Dalam konteks perempuan dan anak-anak, justru Qanun Jinayat benar-benar menjadi proteksi hukum. Qanun Jinayat menjunjung tinggi hak-hak perempuan dan anak.

“Misalnya dalam kasus tuduhan berzina, namun korban mengaku diperkosa. Qanun Jinayat memegang prinsip keadilan dengan memberikan hak kepada perempuan untuk memberikan alat bukti pemerkosaan, dan para penyidik berkewajiban melakukan penyidikan. Ini bentuk proteksi terhadap perempuan,” jelasnya.

“Tapi saya lihat semangat Supriyadi hanya untuk memperjuangkan isu-isu Gay dan Homoseksual. Isu ini tidak pernah bisa berdiri sendiri. Selalu menumpang pada isu-isu perempuan dan anak. Mungkin ada sponsor yang memesan ini kali ya,” sambungnya lagi sembari tersenyum kecil.

Selanjutnya, Samsul juga membantah tudingan Supriyadi yang menyebutkan bentuk hukuman atas pelanggaran Qanun Jinayat mengandung esensi merendahkan martabat manusia. Dalam Qanun Jinayat sendiri, hukuman yang dimaksud tidak serta-merta berupa cambuk. Sanksi Jinayat pada dasarnya dibagi dalam dua hal. Kedua hal tersebut yakni Hudud dan Ta’zir. Hudud sendiri masih pada tahapan cambuk, bukan rajam atau potong tangan.

Sementara itu sanksi Ta’zir sendiri terdiri dari Ta’zir Utama dan Ta’zir Tambahan. “Kalau Supriyadi benar-benar memahami subtansi Qanun Jinayat, dia akan paham bahwa hukuman itu tidak serta merta cambuk. Ada proses dan pilihan hukuman yang tepat dan bijak diberikan sebagai bentuk pelajaran social,” tukas Samsul.

Pun bila dalam implementasi saat ini, tambahnya, terdapat beberapa diskriminasi kasus seperti yang terjadi di Banda Aceh terkait kasus Haji Bakry yang belum melalui proses cambuk, akan sangat naïf bila kemudian Supriyadi dan lembaganya menyalahkan Qanun Jinayat. Harusnya, melakukan gugatan hukum Supriyadi dilakukan terhadap Walikota Banda Aceh saat ini, Illiza Sa’adudin Djamal.

“Masak gara-gara ada fair trial atau diskriminasi, kemudian mereka menyalahkan Qanun Jinayat? Kalau begitu, kenapa dia nggak menggugat KUHP yang juga sering diskriminatif terhadap orang miskin. Sekali lagi, itu artinya Supriyadi nggak paham hukum,” tutupnya. (Mahbib)