Nasional

Guru Besar Filsafat: Agama di Masa Depan akan Tetap Berfungsi Merawat Kehidupan 

Sab, 2 Desember 2023 | 15:00 WIB

Guru Besar Filsafat: Agama di Masa Depan akan Tetap Berfungsi Merawat Kehidupan 

Guru Besar Filsafat Prof Fransisco Budi Hardiman dalam Sesi Panel 1 Muktamar Pemikiran NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Sabtu (2/12/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Guru Besar Filsafat dari Universitas Pelita Harapan Jakarta Prof Fransisco Budi Hardiman mengatakan bahwa di dalam filsafat, masyarakat masa depan dibayangkan sebagai post-humanisme, yakni sekumpulan manusia yang tidak sempurna dan punya kelemahan-kelemahan sehingga harus ditopang oleh teknologi. Meski begitu, Prof Budi berkeyakinan bahwa agama di masa depan akan tetap memberikan makna dan punya fungsi untuk merawat kehidupan. 


"Agama di masa depan berfungsi memberikan jangkar metafisis manusia, agama akan tetap memberikan jangkar metafisis dalam arti penghayatan, merawat kehidupan. Agama tetap memberikan makna, menjadi horison solidaritas," ujar Prof Budi dalam Sesi Panel 1 Muktamar Pemikiran NU bertema Imagining The Future Society di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada Sabtu (2/12/2023) pagi.


Ia menjelaskan bahwa meskipun di masa depan ilmu dan teknologi bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia, tetapi pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia tetap tidak tersentuh. Dengan kata lain, di masa depan agama atau religiusitas akan tetap ada, tetapi bentuknya yang bertransformasi.


Prof Budi juga menjelaskan bahwa membayangkan masa depan merupakan tugas manusia di masa kini dan merupakan kemampuan eksistensi manusia. Namun, ada ironi besar yang sedang dihadapi yakni manusia menjadi lebih mirip mesin, sedangkan mesin lebih mirip manusia.


Sebagai contoh, adanya ponsel pintar (smartphone) membuat segala peran sosial ditimpakan kepada manusia. Sebab melalui sistem di smartphone, perilaku manusia dikendalikan oleh mesin. Kemudian ironi lainnya adalah hewan menjadi manusia dan manusia mirip hewan.


"Oleh karena itu kalau kita membahas masa depan, ada sebuah ironi besar yang sekarang sedang kita lalui, manusia dikendalikan oleh platform digital. Jadi, ini ironi. Kalau kita membicarakan ironi seperti ini bagaimana membayangkan masa depan," jelasnya.


Prof Budi lantas mengingatkan bahwa masa depan bisa datang sebagai pencuri jika tidak disiapkan dengan baik, sehingga harus disiapkan dengan baik. Apalagi persepsi manusia sekarang dengan adanya digitalisasi mengalami perubahan.


"Lewat digital kita mengalami sentimenisasi dunia digital. Jadi kita hidup dalam era yang campur aduk, manusia menjadi media itu sendiri. Persepsi kita juga mengalami perubahan," ujarnya.


Ia mengungkapkan bahwa manusia dahulu cenderung untuk berpikir dan memikirkan perkara, sehingga pikiran menjadi otentik. Tetapi sekarang manusia tidak lagi mengingat langsung di kepala dan kemampuan mengingat tersebut kurang. Menurutnya hal ini dikarenakan mengandalkan digital-digital.


"Lama kelamaan kata-kata nanti kehilangan acuan sehingga simbol menjadi lebih penting dari realitas sosial. Manusia dewasa ini setiap individu membawa masa, realitas sosial tentu kacau balau jika hoaks menjadi semakin adaptif. Lalu kebenaran hilang di tengah lautan semiotik kebebasan," pungkasnya.