Nasional

Guru Besar UNS: Nilai-nilai Sumpah Pemuda Menjadi Terabaikan Karena Politik

Ahad, 28 Oktober 2018 | 10:30 WIB

Guru Besar UNS: Nilai-nilai Sumpah Pemuda Menjadi Terabaikan Karena Politik

Guru Besar UNS Hermanu Joebagio (foto istimewa)

Solo, NU Online
Guru Besar Sejarah Islam Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) mengatakan, Sumpah Pemuda 1928, merupakan perspektif kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan bangsa (toleransi) dan nilai-nilai itu menjadi leitstar bangsa.

"Namun sayangnya, nilai-nilai itu terabaikan akibat besarnya kepentingan politik di era reformasi dewasa ini," ungkapnya.

Hal tersebut disampaikan Guru Besar Sejarah Islam Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Hermanu Joebagio kepada NU Online di Solo, Ahad (28/10).

Ia berharap, melalui tiga komponen kesepakatan kolektif yang telah ia sebutkan, di era reformasi ini seharusnya menjadi pijakan untuk membangun persepsi rational dan sebagai filter terhadap politik pecah belah. "Pileg, Pilpres, dan Pilkada tidak harus memecah kita berkeping dengan mempolitisasi agama," pungkas dia.

Dikatakan, momentum Sumpah Pemuda yang diikrarkan para pemuda bangsa Indonesia dari berbagai suku, agama, dan golongan pada 28 Oktober 1928 silam, menjadi sebuah embrio konsensus kolektif (common denominator) yang mendasari ideologi bangsa ini.

Menurut Hermanu yang juga Mustasyar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surakarta tersebut, selain Sumpah Pemuda, dalam sejarah politik ada dua komponen peristiwa lain, sebagai fase pembuahan dasar negara.

"Ada tiga komponen sebagai fase pembuahan dasar negara, yakni Manifesto Politik 1923, Sumpah Pemuda 1928, dan Sidang BPUPKI," papar Hermanu.

Ditambahkan dia, sedangkan untuk fase pengesahan digodok dalam sidang panitia 8 dan 9, Piagam Jakarta, dan sidang PPKI 18 Agustus 1945. "Dengan pengesahan itu selanjutnya Pancasila sebagai 'ethical principle' bangsa Indonesia," terangnya. (Ajie Najmuddin/Muiz)