Nasional

Guru Non-Muslim Mengajar di Madrasah Membaur Harmonis dalam Kehidupan Nyata di Jembrana

Jum, 21 Oktober 2022 | 15:01 WIB

Guru Non-Muslim Mengajar di Madrasah Membaur Harmonis dalam Kehidupan Nyata di Jembrana

Guru nonmuslim di Jembarana, Bali sedang mengajar di madrasah. (Foto: dok. penulis)

Jembrana, NU Online

Indonesia merupakan negara yang sangat beragam warna. Dengan penduduk berjumlah lebih dari 270 juta, Indonesia memiliki paling tidak 300 suku, 750 bahasa, dan enam agama resmi serta banyak aliran kepercayaan. Meskipun latar belakang masing-masing berbeda, bangsa Indonesia tetap menjaga persatuan di tengah keragamannya.


Salah satu tempat yang bisa dilihat mengenai persatuan di tengah perbedaannya itu ada di Kabupaten Jembrana, Bali. Di kabupaten tersebut, ada guru-guru non-Muslim yang mengajar di madrasah. Padahal, sebagaimana diketahui, madrasah merupakan institusi pendidikan yang berbasis agama Islam. Muatan pelajar agama Islam diberikan ruang yang banyak dalam lembaga pendidikan formal ini. Meskipun demikian, madrasah menerima guru-guru non-Muslim untuk berbagi pengetahuan dengan para siswa yang belajar di dalamnya.


Dania Wardatus Shofiya, salah satu anggota tim MTsN 3 Jembrana, menjelaskan, bahwa memang para guru non-Muslim itu disambut dengan baik. Sambutan yang baik itu tidak hanya dilakukan oleh guru dan siswa dan siswi madrasah tersebut, melainkan juga para orang tua atau wali dari pelajar di dalamnya. Tidak ada pertentangan terhadap keberadaan mereka sehingga proses belajar dan mengajar berjalan sebagaimana mestinya.


“Warga madrasah menerima dengan baik guru non-Islam di sana dan juga mau melebur dengan warga madrasah,” jelas Dania kepada NU Online pada Selasa (11/10/2022).


Tidak ada desas-desus berkait dengan ketidaksukaan atau pun penolakan terhadap guru-guru non-Muslim tersebut. Mereka diterima selayaknya guru yang lain. Mereka juga dihormati sebagaimana guru-guru lain. Artinya, moderasi beragama dalam lingkungan masyarakat Bali, khususnya di Jembrana ini tidak hanya dalam tataran konsep, melainkan juga sudah diaplikasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Moderasi beragama bukan sekadar wacana belaka yang mengawang-awang dalam konsep, tetapi sudah menjadi bagian dari keseharian yang tidak terpisahkan.


“Hasil penelitian menunjukkan bahwa warga madrasah yang memiliki guru non-Islam di Kabupaten Jembrana tidak hanya memahami moderasi beragama sesuai konsep atau definisinya saja, tetapi juga diimplementasikan dalam kehidupan sosial di madrasah,” lanjutnya.


Para guru non-Islam maupun guru yang Muslim pun membaur satu sama lain. Bahkan, mereka sudah merasa bersaudara. “Mereka menganggap semua di madrasah saudara mereka,” katanya.


Hal tersebut sejalan dengan konsep persaudaraan (ukhuwah) yang dicetuskan Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1984-1991 KH Achmad Siddiq, yaitu persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan sesama anak bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan sesama umat manusia (ukhuwah insaniyah atau basyariyah). Meski secara keyakinan, para guru tersebut berbeda, tetapi mereka tetap bersaudara sebagai sesama anak bangsa dan umat manusia.


Sementara itu, Revalina Eka Pratiwi menjelaskan bahwa warga madrasah juga tidak memaksa para guru perempuan non-Muslim untuk mengenakan kerudung saat mengajar para siswanya. Meskipun mereka tidak berkerudung, hal tersebut tidak menjadi masalah bagi sivitas akademika madrasah.


Lebih dari itu, mereka juga tidak dilarang memakai atribut keagamaannya. Ia mencontohkan, bahwa ada guru yang mengenakan gelang tridatu, gelang yang terdiri dari tiga warna yang bagi umat Hindu berfungsi sebagai penangkal bala atau jimat. “Madrasah tidak melarangnya,” katanya.


Di samping itu, ketika semua siswa dan guru lainnya melaksanakan shalat zuhur berjamaah, guru yang beragama Hindu juga melakukan sembahyang di jam yang tidak jauh berbeda. Sebagaimana diketahui, umat Hindu di Indonesia melakukan pemujaan tiga kali dalam sehari yang disebutnya sebagai Trisandya atau Puja Trisandya. Sembahyang ini dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari. 


Biasanya, kata Revalina, pemujaan di pagi dan sore hari dilakukan di rumah masing-masing. Sementara pemujaan di siang hari, mereka masih berada di madrasah. Karenanya, mereka melakukan ibadahnya juga di madrasah.


Pada mulanya, jelas Revalina, penelitian itu dilatarbelakangi keberadaan guru non-Islam di madrasah yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Padahal, keberadaan mereka tidak melanggar peraturan yang ada dan dapat menjadi manifestasi dari moderasi beragama.


Guru-guru tersebut mengajar untuk mata pelajaran olahraga dan bahasa Bali. Mereka tersebar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Sementara di Madrasah Tsanawiyah (MTs) sendiri bukan berarti guru non-Islam dilarang untuk mengajar. Hanya saja, memang di tingkatan tersebut, tidak ada guru non-Muslim.


Revalina dan Dania berharap, bahwa praktik moderasi beragama yang ada di madrasah-madrasah di Bali itu bisa diterapkan di tempat lain. Tidak hanya dalam konteks satuan pendidikan, tetapi lebih dari itu, dalam ruang kehidupan yang lebih luas.

 

“Kita harus menerima yang berbeda. Harus saling bertoleransi di antara umat beragama sesama bangsa. Insyaallah tidak ada masalah ke depan. Madrasah harus jadi contoh,” pungkas Reva.


Penelitian ini berhasil dilakukan atas bimbingan dua guru mereka, yaitu Echa Amalia dan Suci Andini Widoretno. Hasil penelitian tersebut diajukan dalam sebuah ajang lomba di tingkat nasional, yaitu Madrasah Young Researchers Supercamp (Myres) tahun 2022. Penelitiannya berjudul Potret Moderasi Beragama dalam Fenomena Guru Non-Islam di Madrasah Bali pun berhasil mengantarkan keduanya menjadi terbaik ketiga pada ajang tersebut.


Sebagai informasi, penduduk Kabupaten Jembrana berjumlah 322.256 orang berdasarkan data tahun 2016. Mereka tersebar di lima kecamatan, yaitu Melaya, Negara, Jembrana, Mendoyo, dan Pekutatan. Dari total data tersebut, terdapat 231.179 beragama Hindu, 83.274 orang beragama Islam, 4.085 orang beragama Kristen Protestan, 2.655 orang beragama Katholik, 1.038 beragama Budha, 16 beragama Konghucu, dan lainnya beraliran kepercayaan.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad

 

======================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI