Nasional

Gus Aab Ungkap Malapetaka Lisan di Media Sosial Bisa Batalkan Pahala Puasa

Kam, 21 April 2022 | 21:45 WIB

Jakarta, NU Online

Terdapat lima perkara yang bisa membatalkan puasa. Kelimanya adalah ghibah atau membicarakan kejelekan orang lain, namimah atau adu domba, berbohong, sumpah palsu, dan memandang dengan syahwat. 


Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) KH Abdullah Syamsul Arifin (Gus Aab) mengatakan bahwa empat dari kelima perkara yang membatalkan puasa itu disebabkan oleh lisan yang tidak mampu dijaga dengan baik. Ia mengingatkan, keempat malapetaka lisan itu juga bisa membatalkan pahala puasa jika diungkapkan melalui platform media sosial. 


Ada sebagian orang yang beranggapan sudah bisa menjaga lisan dengan berdiam diri di dalam kamar dan tidak banyak berinteraksi dengan orang lain, sehingga orang tersebut merasa telah menjaga lisan dan tidak mengganggu pahala puasa. 


"Dia lupa, lisannya memang terjaga, tetapi di tangannya tergenggam gadget dan dia berinteraksi dengan dunia lain menggunakan tulisan yang dia bagikan melalui berbagai platform media sosial yang di dalamnya ada kebohongan, adu domba, ghibah, bahkan ada sumpah-sumpah palsu," kata Gus Aab dalam tayangan di TVNU, diakses NU Online, Kamis (21/4/2022). 


Ia menjelaskan bahwa tulisan merupakan salah satu dari dua bentuk lisan. Hal ini menjadi penting untuk dijaga pada bulan Ramadhan. Seorang Muslim tidak hanya perlu menjaga lisan untuk tidak berbicara dengan orang lain, tetapi juga harus menjaga jari-jari agar tidak sembarangan berselancar di media sosial. Lebih-lebih apabila yang ditulis itu mengandung unsur ghibah, adu domba, kebohongan, dan sumpah palsu. 


"Jadi sekarang, menjaga lisan tidak hanya diartikan dengan lisan yang kecil bentuknya dan besar mafsadat-nya ini (lidah) tetapi salah satu yang menyamai lisan itu adalah jari-jari kita yang berselancar menulis di papan ketik yang ada di gadget kita, kemudian dibagikan di berbagai macam platform yang ada dunia maya," ungkap Gus Aab. 


Kalau selama Ramadhan seseorang hanya menyendiri di kamar dan tidak sibuk dengan ibadah seperti tilawah Al-Qur’an, berdzikir, istighfar tetapi justru sibuk memproduksi tulisan dan menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keresahan maka itulah yang dapat meniadakan pahala puasa. 


"Karena walaupun lisan kita tidak berucap, bisa saja jari-jari kita menulis sesuatu hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, bahkan bisa menimbulkan keresahan. Tidak jarang kita juga ikut menyebarkan berita-berita hoaks yang menimbulkan kekacauan karena adu domba dan pemberitaan-pemberitaan yang tidak benar. Ini harus kita jaga dan hindari agar puasa kita diterima dan mendapatkan balasan yang dijanjikan oleh Allah," harap Gus Aab. 


Amalan-amalan sunnah dalam berpuasa

Syekh Muhammad Ibn Umar Nawawi Al-Bantani dalam Kitab Nihayah Al-Zain fi Irsyad Al-Mubtadi’in, menulis ada 10 amalan sunnah yang harus dipelihara saat seseorang tengah menjalani ibadah puasa. Terkait ini, NU Online telah memuatnya dalam artikel berjudul 10 amalan Sunnah dalam Berpuasa.


Pertama, makan sahur. Aktivitas sahur tercapai dengan menyantap sesuatu walaupun hanya sedikit atau hanya seteguk air. Waktunya adalah selepas tengah malam tetapi lebih utama diakhirkan selama tidak masuk waktu waktu terbit fajar. 


Kedua, menyegerakan berbuka saat masuk waktu maghrib. Saat pertama berbuka, sunnahnya dilakukan dengan kurma. Tetapi jika tidak ada hendaknya dengan air. Seandainya tidak ada kurma dan air tetapi yang ada madu dan susu, maka dahulukanlah madu walaupun sama-sama manis. 


Ketiga, membaca doa yang ma’tsur sebelum atau setelah berbuka. Misalnya dengan doa 'Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘alaa rizqika afthartu bi rahmatika ya arhamarrahimin’ (Ya Allah, hanya untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, berkat rahmat-Mu, wahai Dzat yang maha penyayang di antara para penyayang). 


Keempat, mandi besar dari junub, haid, atau nifas sebelum terbit fajar agar bisa menunaikan ibadah dalam keadaan suci, di samping khawatir masuk air ke mulut, telinga, anus, dan sebagainya jika mandi setelah fajar. Kendati tidak bersedia mandi seluruh tubuh sebelum fajar, hendaknya mencuci bagian-bagian tersebut (yang sekiranya rawan masuk air) disertai dengan niat mandi besar.     


Kelima, menahan lisan dari perkara-perkara yang tak berguna, apalagi perkara haram, seperti berbohong dan mengumpat. Sebab, semuanya akan menggugurkan pahala puasa.


Keenam, menahan diri dari segala hal yang tak sejalan dengan hikmah puasa, meskipun itu tidak sampai membatalkan, seperti berlebihan dalam mengadakan makanan atau minuman, bersenang-senang dengan perkara-perkara yang sejalan dengan keinginan dan kepuasan nafsu, baik yang didengar (seperti musik), ditonton, disentuh, diraba, dicium, dan sebagainya. Sebab semua itu tak seiring dengan hikmah dari ibadah puasa.


Ketujuh, memperbanyak sedekah, baik kepada keluarga, kaum kerabat, maupun tetangga. Berilah mereka makanan secukupnya. Kendati tidak ada, jangan sampai luput walau hanya seteguk air atau sebiji kurma.


Kedelapan, memperbanyak i'tikaf di masjid. Sebaiknya dilakukan sebulan penuh. Jika tidak, sepuluh malam terakhir diutamakan. Sebab, jika memasuki sepuluh malam terakhir, Rasulullah selalu menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat pinggang sebagai bentuk kesiapan menjalankan ibadah.


Kesembilan, mengkhatamkan Al-Quran setidaknya sekali selama bulan Ramadan. Maksimalnya tentu sebanyak-banyaknya, seperti para ulama terdahulu. Bahkan, setiap bulan Ramadhan, Imam Syafi‘i mengkhatamkannya hingga 60 kali.   


Kesepuluh, istiqamah dalam menjalankan amaliah Ramadhan dan melanjutkan amaliah-amaliah tersebut di bulan-bulan berikutnya.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan