Nasional

Gus Dur, Lebih Tepat Disebut Bapak Demokrasi daripada Bapak Pluralisme

NU Online  ·  Sabtu, 11 Mei 2019 | 06:47 WIB

Gus Dur, Lebih Tepat Disebut Bapak Demokrasi daripada Bapak Pluralisme

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Jakarta, NU Online
Penulis buku Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif, Syaiful Arif menyatakan bahwa KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur lebih tepat dipredikati sebagai Bapak Demokrasi dibanding Bapak Pluralisme. Arif beralasan, predikat sebagai bapak demokrasi memiliki jangkauan yang lebih luas bagi pemikiran dan perjuangan Gus Dur.

"(Gus Dur) Lebih tepat sebagai bapak demokrasi karena sebutan itu lebih luas, lebih memadai bagi keluasan perjuangan dan pemikiran Gus Dur," kata Arif pada diskusi bertajuk The Gus Dur Code: Pemikiran dan Tindakan di Kantor Pengurus Besar Majelis Hubbul Wathan di Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (10/5).

Arif tidak memungkiri bahwa Gus Dur merupakan pejuang pluralisme. Namun menurutnya, Gus Dur bukan penganut pluralisme sebagai sebuah ideologi yang lahir di barat, yakni ideologi yang mendekati agama hanya sebagai etika dan tidak mengakui perbedaan teologis yang ada di dalam agama-agama.

Ia menambahkan, pluralisme yang lahir di barat itu hanya menyamaratakan agama-agama pada level moralitas dan perlindungan terhadap hak beragama. 

"Jadi pluralisme yang dikembangkan oleh masyarakat liberal itu adalah sebagai penghormatan terhadap hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia. Jadi diskursus keagamaan lalu menjadi diakursus HAM. Oleh karena itu, ideologi pluralisme ini tidak mau atau tidak mampu untuk melihat perbedaan teologis dan perbedaan doktrinal di setiap agama," terangnya.

Arif merupakan alumnus Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, yang tidak lain asuhan Gus Dur. Menurutnya, dalam salah satu pengajian yang diikutinya, secara implisit Gus Dur membagi antara amal khair dan amal shaleh.

Amal khair ialah amal kebaikan yang dapat dilakukan oleh semua orang, baik muslim maupun non-muslim. Sehingga jika pun non-muslim melakukan amal kebaikan ini, Tuhan akan membalas dengan kebaikan pula karena berdasarkan pada kebaikan kemanusiaan.

Sementara amal shaleh adalah amal yang hanya dapat dilakukan muslim karena terkait dengan ritual keagamaannya, seperti shalat, zakat, dan puasa ramadhan. Sebagai balasannya, muslim tersebut mendapatkan kebaikan berupa pahala untuk di akhirat kelak.

Menurutnya, dari kedua amal itu, Gus Dur sebenarnya membedakan antara kebaikan yang bersifat islami dan kebaikan yang bersifat kemanusiaan. 

"Umat Islam itu tetap memiliki hak untuk mengelola kebaikan-kebaikan doktrinalnya yang tidak bisa dimasuki oleh umat non muslim. Demikian juga sebaliknya, umat non muslim punya doktrin keagamaan yang tidak bisa dimasuki oleh umat Islam, tetapi ke semua umat ini memiliki hak untuk mendapatkan pahala atas amal khairnya," terangnya.

Untuk itu, katanya menegaskan, jika Gus Dur dipredikati sebagai bapak pluralisme dengan dipahami sebagai liberal pluralisme, menjadi tidak tepat karena Gus Dur tidak pernah menyamaratakan teologi. 

"Gus Dur tidak pernah menyamaratakan teologi. Yang Gus Dur samakan adalah hakikat spiritualnya," jelasnya. (Husni Sahal/Fathoni)