Nasional

Gus Mus: Banggalah Jadi Orang Desa

Sen, 4 November 2019 | 01:00 WIB

Gus Mus: Banggalah Jadi Orang Desa

Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) saat memberikan tausiyah dalam acara temu alumni pesantren asuhannya. (Foto: NU Online/Hanan)

Rembang, NU Online

Sejak lama muncul anggapan bahwa orang kota lebih gagah dibanding orang desa. Menjadi orang kota kedengarannya lebih keren daripada menjadi orang desa. Namun sesungguhnya tidak demikian.

 

Paling tidak hal tersebut dibantah oleh pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Mustofa Bisri dalam acara temu alumni pesantren asuhannya yang berlangsung, Sabtu (2/11).

 

Menurutnya, seharusnya siapapun harus bangga menjadi orang desa. Sebab banyak nilai-nilai luhur yang ada dalam kehidupan pedesaan. Selain itu, para kiai penerus perjuangan Rasulullah SAW, banyak yang ada di desa.

 

“Padahal desa itu mestinya menjadi kebanggaan. Karena di desa-desa itulah kiai-kiai penerus perjuangan Kanjeng Rasul SAW yang sebenarnya ada. Tidak ada kiai di kota pada saat itu, kiai itu ada di desa-desa,” ungkapnya.

 

Kiai yang kerap disapa dengan nama Gus Mus ini mengungkapkan bahwa salah satu bentuk ketawadlukan dari kiai zaman dulu adalah lebih dikenal dengan nama daerahnya.

 

“Makanya kiai-kiai itu begitu tawadluknya tidak pernah seperti kiai yang ada pada saat ini, sering dikenal dengan nama pesantrennya dan segala macam, tidak seperti itu. Dulu pesantren lebih dikenal dengan nama desanya. Tapi akhir-akhir ini lebih sering disebut namanya,” tukasnya.

 

 

Ia melanjutkan, jika ingin membandingkan antara masyarakat desa dan kota, ada satu cara yang bisa dilakukan, yakni dengan memakai cermin ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

 

“Nanti kita akan tahu, siapa yang lebih unggul. Misalnya, ajaran Kanjeng Nabi supaya menghormati tamu. Sampean kalau ke desa, belum apa-apa sudah disuguhi minimal teh pahit, itu adalah ekspresi penghormatan kepada tamu. Apapun dikeluarkan semua,” bebernya.

 

Sekarang ini banyak orang desa yang meniru kehidupan masyarakat kota. Padahal semestinya, kebiasaan di desa dibawa ke kota, bukan sebaliknya.

 

“Yang semacam itu harusnya jangan dilanjut-lanjutkan. Tunjukkan kedesaanmu itu dalam pengertian norma-norma yang diajarkan oleh Rasulullah melalui kiai-kiai desa yang sudah menjadi pengamalan. Ilmu itu tidak disebut ilmu kalau tidak diamalkan,” ujarnya.

 

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini mengungkapkan bahwa banyak masyarakat perkotaan yang merasa takjub dengan apa yang disampaikan olehnya di media sosial. Menurutnya, sebenarnya apa yang dia sampaikan di media sosial adalah nilai-nilai yang ada di pedesaan.

 

“Saya itu facebookan, instagraman, twitteran. Follower saya itu 2 juta lebih. Kenapa demikian? Karena setiap saya ngetwit, setiap saya memposting sesuatu, aku menstatuskan status selalu ajaran-ajaran kedesaan yang saya keluarkan. Mereka terkaget-kaget karena di kota tidak pernah dengar,” kata Gus Mus.

 

“Kalau yang desa-desa sudah biasa kalau membaca statusku, melihat instagramku biasa, tapi tidak kalau orang-orang kota,” imbuhnya.

 

Ia memberikan contoh kutipannya 'abadikan kebaikanmu dengan melupakannya'. Menurutnya, kalimat tersebut sebenarnya merupakan norma yang ada di desa.

 

“Masyarakat desa itu tidak pernah mengungkit-ungkit kebaikannya. Karena orang desa mau mengabadikan kebaikannya. Kebaikan itu bisa terabadikan sampai akhirat itu kalau tidak diingat-ingat,” tandasnya.

 

Kontributor: Ahmad Hanan

Editor: Aryudi AR