Nasional PROFIL

Gus Muwafiq, Sampean Niku Sinten?

Rab, 29 Agustus 2018 | 08:30 WIB

Gus Muwafiq, Sampean Niku Sinten?

KH Ahmad Muwafiq, Sumber: Istimewa

Perawakannya tinggi dan besar. Kulitnya coklat kehitaman. Rambutnya menjuntai melewati bahu, seringnya digelung ke belakang punggung, hingga nampak lebih rapi. Pakaiannya yang serba putih, mulai peci, baju, hingga sarung, cukup kontras dengan kulitnya yang kehitaman. Itulah gambaran sosok Kiai Ahmad Muwafiq.
 
Di era digital seperti saat ini, tak sulit menjumpai kiai kelahiran 2 Maret 1974 ini mengingat video dakwahnya yang beredar luas di Youtube dan facebook. Ketik saja Gus Muwafiq atau Kiai Muwafiq di mesin pencarian internet, anda akan menemukan videonya dengan mudah. Beberapa di antaranya bahkan viral termasuk saat mengomentari Ustad Evie yang menyebut peringatan Maulid Nabi Muhammad sebagai peringatan atas ‘Kesesatan Sang Nabi’.
 
Demikian Gus Muwafiq dikenal di era media sosial saat ini secara luas. Namun yang belum banyak diketahui tentang kiai nyentrik ini adalah proses sebelum pidato sang kiai ramai menghiasi media sosial, yang justru proses inilah yang membuatnya berbeda dengan ustad selebritis yang juga ramai seperti Ustad Evie, Hanan Attaki, dan ustad media sosial lainnya.
 
Dari kiai kampung ke kiai youtube
 
Jauh sebelum era medsos dimulai, kiai jebolan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1990-2001 ini telah aktif melakukan dakwah di berbagai tempat di sekitar Yogyakarta, termasuk kawasan jawa tengah dan Jawa Timur. Selama itu pula jiwa sosialnya ditempa melalui organisasi kemahasiswaan; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Ia juga sering terlibat aksi turun jalan menentang rezim otoritarian Suharto dan menuntut Reformasi.
 
Dalam urusan berdakwah, bapak empat orang putri ini termasuk kiai yang sangat konsisten menjalani peran sebagai dai. Di masa awal berdakwah, di mana era media sosial belum seramai hari ini, Kiai Muwafiq berkeliling dari satu pengajian ke pengajian lainnya dengan menggunakan motor roda dua. Jika tak ada jemputan, kiai ini lebih banyak mengendarai motornya menuju lokasi pengajian. 
 
“Seringnya beliau naik motor ke mana-mana. Biasanya ada yang nemenin bergantian,” ujar Gus Imdad, pengasuh salah satu pesantren di Wonosobo yang dulunya menemani Gus Muwafiq berdakwah. Gus Imdad dan rekan-rekannya kala itu saling bergantian mendapingi Gus Muwafiq menghadiri undangan pengajian. 
 
Zaman itu, lanjut Imdad tak ada peralatan elektronik seperti handphone dan tripod seperti saat ini yang perlu dibawa untuk merekam pengajian demi konsumsi dunia maya. Burhanuddin, santri lain yang kerap mendapingi saat ini mengungkapkan perbedaan cara mengantarkan kiai saat dulu dan sekarang.
 
“Biasanya kalau sekarang kami membawa handphone untuk live streaming atau merekam video untuk diupload ke Youtube dan Facebook,” tutur Burhan. Selain itu, para santri juga biasanya membawa sebuah kamera digital untuk mendapatkan kualitas gambar yang baik. “Sebagian itu juga inisiatif dari kami para santrinya,” kata dia.
 
Kiai Muwafiq sendiri pada dasarnya adalah kiai yang adaptif dan mengikuti deras perkembangan zaman. Di era digital seperti saat ini, Kiai Muwafiq dan santrinya menyadari perlunya mendokumentasi pengajian. Fenomena era digital saat ini tentu berbeda jauh dengan sepuluh tahun lalu, saat ia masih sering mengisi pengajian di tengah mahasiswa. 
 
Kala itu, Gus Muwafiq menggunakan metode yang dekat dengan kelompok mahasiswa, misalnya menyelingi pidatonya dengan permainan dan dentingan lagu-lagu perjuangan Iwan Fals, yang memang digemari mahasiswa kala itu. Sayangnya, tak banyak rekaman yang tersisa dari aktivitasnya di era awal 2000-an itu.
 
Yang tak terekam di youtube; tirakat puasa dan pintu rumah yang terbuka
 
Memang tak semua terekam di media sosial, termasuk bagaimana kiai melakoni tirakat puasanya yang bertahun-tahun. Tak ada kesaksian yang utuh di antara para santri mengenai berapa lama puasa yang dijalani sang kiai, sebagian mengatakan delapan tahun, sebagian lain bilang tujuh tahun. 
 
“Yang jelas, beliau sering bilang, seorang kiai iku minimal puasanya delapan tahun. Itu diluar puasa sunnah dan wajib seperti Puasa Ramadhan dan Senin-Kamis,” ujar Gus Imdad. Puasa tahunan ini juga di luar puasa sembilan bulan yang dilakoni setiap istrinya Nyai Ella, mulai mengandung hingga melahirkan. 
 
Kiai Muwafiq sendiri tak menghitung berapa tahun tepatnya Ia berpuasa. Justru yang sering dia katakan adalah pentingnya puasa. “Riyadloh (puasa) hukume ‘gak kenek dinyang’ (hukumnya tak bisa ditawar),” katanya. Dari ceritanya, kebiasaan riyadloh ini dijalaninya sambil melakukan aktivitas mahasiswa pada umunya termasuk sewaktu menggelar aksi demonstrasi di Yogyakarta hingga di Jakarta di masa Orde Baru. 
 
Kendati telah dikenal sebagai kiai yang ramai di era digital, tapi kebiasaan seorang kiai tak pernah lepas dari dirinya, terutama dalam menerima tamu di rumahnya secara offline. Bisa dikata, pintu rumahnya terbuka setiap saat. Jenis masalah yang dibawa para tamu juga beragam, mulai dari persoalan pribadi seperti jodoh, problem domestik keluarga, sampai sengketa politik dari level desa hingga nasional.
 
Rumahnya sendiri terbilang sederhana dengan ukuran yang tak begitu besar hanya sekitar 100 meter persegi. Di depan rumahnya terdapat beberapa ayam jago piaraannya yang dirawat dengan baik. Pada dindingnya yang berwarna kuning kehijauan terpampang foto-foto para kiai khos dan logo NU. Tak ada perabot mahal di sana. Namun justeru yang menarik adalah beberapa pedang yang menghiasi dinding. Dalam sebuah kesempatan sang kiai menceritakan kisah dibalik pedang-pedang itu yang terbilang unik.
 
Kiai Muwafiq sendiri memang memiliki sejumlah hobi sejak muda; memelihara ayam jago, mengoleksi pedang dan menyanyikan lagu perjuangan. Ketiga hobi ini di luar kebiasaannya melatih silat beberapa santrinya yang menguasai ilmu kanuragan. “Memang jadi kiai harus serbabisa, mulai dari urusan nyuwuk orang kena santet, sampek urusan noto (menata) umat dan negoro (negara). Karena kita tidak tahu siapa dan situasi seperti apa yang akan kita hadapi. Dulu eranya demonstrasi sekarang eranya Youtube,” pungkas sang kiai berkelakar. (Ahmad Rozali)