Nasional

Gus Ulil: di Dalam Agama, Sakit Itu Dinilai oleh Allah

Kam, 28 Maret 2024 | 20:30 WIB

Gus Ulil: di Dalam Agama, Sakit Itu Dinilai oleh Allah

Ketua PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ulil Abshar Abdalla menyatakan bahwa keadaan sakit dalam agama Islam punya nilai tersendiri. Bahkan orang-orang Sufi memandang sakit sebagai wasilah atau cara Allah swt hendak menghapus dosa-dosa manusia. Karena itu, bila sakit harus menimpa manusia harus diterima.


"Di dalam agama sakit itu dinilai oleh Allah. Sakit itu penting bahkan di dalam pandangan agama sakit itu adalah salah satu cara Allah membersihkan dosa kita," katanya saat mengisi Halaqah Tafsir Ramadhan dengan tema Puasa dalam Tinjauan Agama-Agama, Rabu (27/3/2024).


Orang yang beragama tidak bisa menginginkan seluruh perjalanan hidupnya bakal baik-baik saja. Di tengah perjalanannya mesti ada dinamika yang kontras, seperti sakit, tidak nyaman, dan sebagainya. Keadaan yang seperti ini harus dipandang dengan kacamata agama, bahwa ada hikmah di baliknya. Misalkan pengampunan Allah. 


"Karena itu, beragama harus ada sakit-sakitnya. Gak bisa kalau beragama kok nyaman-nyaman semuanya," jelas Gus Ulil, sapaan akrabnya.


Cara pandang semacam ini menurut Gus Ulil berbalik dengan mindset masyarakat modern yang menginginkan perjalanan hidupnya selalu tenang dan nyaman. Pola pikir begini tentu tak bisa menjadi pegangan hidup. Karena, status manusia sejatinya adalah hamba Allah. Allah lah yang mengatur semuanya.


"Kalau kalian ingin menjadi hamba Allah itu tidak bisa kok kepingin nyaman terus. Karena masyarakat modern itu kepingin seluruh hidupnya nyaman terus. Ini beda mindset-nya dengan di dalam agama," ujarnya.


Kekuatan manusia sebatas ikhtiar agar perjalanan hidupnya ideal. Lebih dari ikhtiar, manusia tak memiliki kemampuan. Seperti, upaya menjaga kebugaran fisik dengan menjaga pola makan yang sehat dan rutin berolahraga. Kendati demikian, bila tiba waktunya sakit, tetap bakal sakit. 


"Jadi di dalam agama itu sakit ada nilainya, tapi ini bukan berarti kita sengaja sakit. Bukan. Kita tetap berusaha sehat. Tapi kalaupun kita berupaya sehat kok masih sakit, ini harus dimaknai. Sakit itu kalau secara ilmu tasawuf adalah cara Allah membersihkan dosa," ungkapnya.


Gus Ulil kemudian bercerita tentang kesufian Imam Hasan Al-Bahsri, ulama dari Basrah yang hidup di abad kedua dan sangat terkenal. Salah satu pernyataan yang masyhur di kalangan ulama adalah betapa ia tetap menginginkan sakitnya sakaratul maut saat harus mengakhiri ajalnya. 


"Ya Allah saya baca pernyataan Imam Hasan Al-Bahsri langsung ciut saya. Karena sekarang ini orang kepingin mati dengan keadaan nyaman," tuturnya.


Berbeda dengan Imam Hasan Al-Bahsri. Dia, kata Gus Ulil, menegaskan bahwa sakit yang dirasakan menjelang kematian adalah wujud kecintaan Allah lantaran dosa-dosanya sebelum ajal tiba telah dihapuskan.


"Dia mengatakan begini, saya tidak kepingin mati dengan nyaman tanpa ada sekarat kematian. Saya kepingin mati dengan sekarat. Kenapa? Sekarat ini membantu saya membersihkan dosa-dosa saya," pungkas Gus Ulil.