Nasional

Gus Ulil Jelaskan Fiqih Siyasah dalam Konteks Peradaban Baru

Sen, 29 Agustus 2022 | 22:00 WIB

Gus Ulil Jelaskan Fiqih Siyasah dalam Konteks Peradaban Baru

Halaqah Fiqih Peradaban Kedua di Pesantren Al-Falah, Nagreg, Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu (27/8/2022) lalu.

Gus Ulil Jelaskan Fiqih Siyasah dalam Konteks Peradaban Baru

Jakarta, NU Online

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Halaqah Fiqih Peradaban Kedua di Pesantren Al-Falah, Nagreg, Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu (27/8/2022) lalu. Halaqah yang mengangkat tema Membangun Moderasi Beragama melalui Fiqih Minoritas-Mayoritas ini digelar dalam rangka Milad ke-52 Pesantren Al-Falah.


Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU, H Ulil Abshar Abdalla menjelaskan tentang fiqih siyasah atau politik kenegaraan dalam konteks peradaban baru. 


Menurutnya, fiqih siyasah ini merupakan ijtihad para ulama yang ditulis di dalam konteks tertentu. Ia mengatakan, sebagian besar fiqih yang dipelajari di pesantren ditulis dalam kontes peradaban tertentu, yaitu peradaban pra-negara nasional. 


“Salah satu ciri negara tradisional adalah tiadanya batas yang jelas. Karena itu, batas negara bersifat mulur-mungkret atau berkembang dan mengkerut. Negara-negara yang kuat cenderung mencaplok negara lain yang lemah karena tidak ada kesepakatan internasional yang melindungi batas-batas negara,” jelas Gus Ulil dalam keterangannya yang diterima NU Online, Senin (29/8/2022). 


Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu menjelaskan bahwa akibat yang timbul dari ketiadaan batas yang jelas itu adalah terdapat keharusan untuk menjaga batas negara secara permanen. Hal ini bertujuan untuk mencegah invasi dari negeri lain. Karena itu, jihad dalam fiqih yang diajarkan di pesantren wajib dilakukan setiap tahun. 


Gus Ulil menjelaskan, kewajiban jihad minimal sekali dalam setahun itu dinyatakan oleh Imam Nawawi Al-Bantani di dalam Kitab Nihayatuz-Zain. Kewajiban jihad setiap tahun itu bisa dipahami dalam konteks negara tradisional yang tidak mengenal batas pasti seperti itu.


“Saat ini, kita hidup dalam konteks peradaban baru, yaitu peradaban negara nasional. Karakter negara bangsa adalah adanya batas yang jelas. Batas ini dilindungi melalui konvensi internasional. Tugas menjaga batas negara sekarang diambil alih oleh kekuatan militer resmi milik negara,” tutur Pengampu Ngaji Ihya Ulumiddin itu. 


Dengan demikian, imbuh Gus Ulil, konsep jihad setiap tahun seperti dijumpai dalam literatur fiqih tradisional layak dipahami kembali secara kontekstual. Inilah pentingnya gagasan Fiqih Peradaban. 


Menurut Gus Ulil, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) melalui Halaqah Fiqih Peradaban bertujuan untuk mengajak para kiai berpikir secara kontekstual dan memahami kembali fiqih yang dipelajari di pesantren-pesantren dalam konteks peradaban yang sudah berubah. 


Selain itu, ia menjelaskan tentang konsep peradaban menurut Ibnu Khaldun, seorang pemikir asal Tunisia yang hidup pada abad ke-14. Ibnu Khaldun yang dianggap sebagai Bapak Sosiologi Modern itu menegaskan dalam kitab Muqaddimah Ibn Khaldun bahwa al-Insan madaniyyun bi al-tab’i yang bermakna manusia pada dasarnya cenderung bersifat madani, yaitu membangun kehidupan yang beradab (madinah). 


Gus Ulil menuturkan, peradaban Islam berkembang sejak Nabi Muhammad membangun Kota Madinah dan berlanjut hingga sekarang. Menurutnya, perkembangan peradaban Islam pun mengalami pasang-surut. 


“Salah satu puncak peradaban Islam tercapai pada saat dinasti Abbasiyah berkuasa sejak 750 M hingga keruntuhannya pada 1258 M. Di masa Abbasiyah inilah lahir ulama-ulama hebat yang kitab-kitabnya masih dikaji di pesantren-pesantren NU hingga saat ini. Salah satunya adalah Imam al-Ghazali, pengarang kitab Ihya’ Ulumiddin,” ungkapnya.


Di samping itu, Gus Ulil mengingatkan bahwa Halaqah Fiqih Peradaban yang digagas Gus Yahya dan akan digelar di 250 titik se-Indonesia ini merupakan cara untuk menghidupkan kembali KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 


“Dulu Gus Dur pernah menggagas kegiatan halaqah seperti ini di tahun 1990-an. Hasilnya fenomenal. Muncul kiai-kiai pemikir yang banyak berkontribusi bagi keharuman NU di level nasional,” tegas Gus Ulil.


Ciri Beragama NU

Wakil Ketua PWNU Jawa Barat Asep Salahuddin menerangkan bahwa ciri beragama ala NU adalah santai dan penuh humor. Ia memprediksi, kemunculan radikalisme dan fundamentalisme agama akhir-akhir ini kemungkinan karena telah hilangnya rasa humor itu. 


“Kiai-kiai kita di kawasan Nusantara sebetulnya sudah mengembangkan fiqih peradaban yang sesuai dengan konteks lokal. Tugas kiai-kiai NU sekarang adalah meneruskan usaha yang sudah dirintis oleh kiai-kiai terdahulu,” ucap Kang Asep, sapaan akrabnya. 


Sebagai informasi, Halaqah Fiqih Peradaban Kedua ini dihadiri oleh 500 kiai dan santri yang berasal dari daerah Bandung dan sekitarnya. Di antara tokoh yang hadir dalam halaqah ini adalah Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat KH Abun Bunyamin dan Ajam Mustajam yang mewakili Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Barat.


Halaqah di Pesantren Al-Falah ini berlangsung selama satu hari dan dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama diisi oleh dua pembicara yakni Gus Ulil Abshar Abdalla dan Kang Asep Salahuddin. Sementara pembicara di sesi kedua adalah Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali dan Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Prof Rosihon Anwar. 


Halaqah Fiqih Peradaban yang akan digelar di 250 titik se-Indonesia ini dimulai sejak Agustus 2022 hingga Januari 2023 mendatang dan menjadi bagian dari rangkaian peringatan Satu Abad NU yang akan berlangsung hingga Februari 2023. Halaqah pertama telah berlangsung di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, pada 11 Agustus 2022 lalu. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad