Nasional

Gus Yahya Terangkan Tiga Langkah Cerna Politik Luar Negeri Ala Gus Dur 

Kam, 29 Juli 2021 | 06:00 WIB

Gus Yahya Terangkan Tiga Langkah Cerna Politik Luar Negeri Ala Gus Dur 

Gus Dur dan KH Cholil Bisri, ayah KH Yahya Cholil Staquf, di Situbondo 1983.

Jakarta, NU Online

Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf menerangkan, dalam mencerna politik luar negeri ala KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terdapat tiga langkah khusus yang perlu dipahami betul agar tidak terjadi kesalahpahaman. 


"Pertama, hal yang terkait dengan tujuan dan visi. Kedua, frame work (kerangka bekerja) dari semua yang dilakukan, dan ketiga, strategi dan metodenya," kata Kiai yang karib disapa Gus Yahya dalam tayangan Bincang Politik di Republik Merdeka TV yang diakses NU Online pada Kamis (29/7).


Ia menyebutkan, tujuan dan visi dalam kebijakan yang diambil Gus Dur dalam hal politik luar negeri adalah mempertahankan integritas teritorial dan sistem politik Indonesia. Hal tersebut mengingat reformasi politik pada saat itu, cukup berbahaya bagi keutuhan suatu negara. 


Bahkan, lanjut dia, hingga saat ini dapat dilihat bahwa di antara semua negara yang mengalami reformasi politik maupun disintegrasi teritorial, seperti Yugoslavia, atau keruntuhan sistem seperti yang dialami negara-negara di Timur Tengah pada Arab Spring, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang selamat.


"Karena kita sadari bahwa reformasi politik pada saat itu sebetulnya adalah dinamika politik yang bahaya bagi keutuhan suatu negara," ujar Juru Bicara Presiden Gus Dur itu. 


Sebab, menurutnya, Gus Dur memahami bahwa integritas suatu bangsa hanya bisa diraih dengan dukungan internasional yang penuh. "Gus Dur berusaha agar jangan sampai ada ruang di mana integritas Indonesia dipertanyakan oleh dunia internasional," tutur alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada itu.


Ditegaskan Gus Yahya, hal lain yang melatarbelakangi politik luar negeri Gus Dur adalah keseimbangan struktur politik internasional, antara negara-negara maju dan berkembang serta antara utara dan selatan. Keseimbangan itu diperjuangkan supaya nanti tumbuh struktur yang seimbang di tatanan internasional. 


"Nah, maka setelah ini berubah ada negara-negara bangsa, kita harus pikirkan Islam ini harus difungsikan seperti apa," tegas Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah ini. 


Sebab, dewasa kini banyak kelompok-kelompok yang ngotot untuk mengembalikan tatanan kenegaraan menjadi sistem kekhilafahan. Akan tetapi, Gus Yahya menegaskan, bahwa yang demikian itu secara realistis bersifat mahal, karena dapat mengorbankan harga kemanusiaan.


"Sebetulnya yang lebih bijak, realistis dan legitimas adalah kita ikut serta menyempurnakan tata dunia baru ini," tandasnya. 


Lebih lanjut, Gus Yahya menerangkan agar tujuan itu tercapai maka diperlukan strategi dan metode yang tepat dengan terus-menerus mengikutsertakan Indonesia dalam berbagai isu Internasional. Oleh karena itu, pada saat menjabat Gus Dur rajin melakukan lawatan ke luar negeri. 


"Gus Dur waktu itu rajin, yang dikatakan orang plesiran ke luar negeri. Bahkan pernah dalam seminggu, ada 13 negara yang dikunjungi," terang anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode 2016-2019 itu. 


Kata plesiran, menurut dia, sebetulnya sangat tidak cocok disematkan dalam setiap lawatan Gus Dur, karena alasan Gus Dur ngotot melakukan lawatan ke luar negeri adalah untuk mempertahankan kehadiran Indonesia dalam pergaulan internasional. Agar negara-negara lain melihat Indonesia hadir dan punya peran signifikan. 


"Pengalaman saya mendampingi Gus Dur (kunjungan ke luar negeri), tidak pernah ketemu kota. Yang kita tahu bandara, istana negara, penginapan lalu bandara lagi. Jadi untuk beli oleh-oleh saja tidak sempat. Sehingga apa yang dibilang plesiran itu sebetulnya realitasnya tidak seperti itu," tutur inisiator pendiri institut keagamaan di California, Amerika Serikat yang bernama Bayt Ar-Rahmah Li adDa'wa Al-Islamiyah rahmatan Li Al-alamin itu. 


Kiai yang dimandatkan sebagai tenaga ahli perumus kebijakan Dewan Eksekutif Agama Agama di Amerika Serikat-Indonesia itu pun menjelaskan, dalam setiap diplomatic engagement (ikatan diplomatik) yang dilakukan, Gus Dur selalu menawarkan peran Indonesia untuk berkontribusi menyelesaikan persoalan internasional, entah itu antar negara atau multilateral. 


"Contohnya, saat bertemu dengan Raja Yordania, Gus Dur menawarkan peran Indonesia untuk melanjutkan pembicaraan dengan Israel," jelasnya. 


Selain itu, pada pertemuan selanjutnya, kepada pemimpin Turki dan Iran, Gus Dur menawarkan peran Indonesia untuk menengahi ketegangan dua negara yang terjadi saat itu. Usaha itu dikembangkan oleh Gus Dur, supaya orang mengingat Indonesia penting dan bisa memberikan kontribusi positif. 


"Karena, semasa Orde Baru, banyak ahli politik internasional menilai bahwa Indonesia terlalu introvert dalam pergaulan internasional," imbuh Gus Yahya. 


Kontributor: Syifa Arrahmah 
Editor: Syakir NF