Nasional 1 ABAD NU

Hadapi Realitas Baru Jadi Urgensi Pembahasan Piagam PBB pada Muktamar Fiqih Peradaban Besok

Ahad, 5 Februari 2023 | 13:30 WIB

Hadapi Realitas Baru Jadi Urgensi Pembahasan Piagam PBB pada Muktamar Fiqih Peradaban Besok

Ketua Lakpesdam PBNU, KH Uli Abshar Abdalla mengatakan Muktamar Fiqih Peradaban membahas Piagam PBB karena umat Islam saat ini menghadapi realitas baru. (Foto: NU Online/Suwitno)

Sidoarjo, NU Online

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menjelaskan soal urgensi pembahasan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2/2023) besok.


Salah satu alasan yang menjadikan Piagam PBB sangat penting dibahas itu adalah karena umat Islam saat ini menghadapi realitas baru. 


Gus Ulil menjelaskan, fiqih siyasah atau yurisprudensi hukum Islam yang mengatur tentang kehidupan politik, baik level domestik maupun hubungan antarbangsa, ditulis di dalam konteks yang berbeda dengan realita zaman sekarang.  


"Fiqih siyasah kita itu ditulis pada sekitar abad 8-10 sampai menjelang abad modern, abad ke-19 atau awal abad 20. Itu kebanyakan ditulis di dalam konteks ketika umat Islam hidup di era pra-negara bangsa," ujar Gus Ulil kepada NU Online, Sabtu (4/2/2023) malam.


Munculnya institusi negara bangsa di era modern, kata Gus Ulil, mengubah konstelasi banyak hal pada kehidupan di muka bumi ini. Di antaranya ada konsep kewarganegaraan serta konsep mengenai hukum yang terdikotomi menjadi dua yakni hukum negara dan hukum agama. Kemudian ada pula konsep mengenai minoritas. 


Di samping itu, kemunculan negara bangsa di era modern juga disertai dengan munculnya lembaga multilateral yang mengatur hubungan antarbangsa, yaitu PBB. 


"PBB ini institusi yang memang betul-betul ciptaan baru. Kita belum pernah mengenal di dalam era lama institusi multilateral seperti ini yang menjaga dan mengatur hubungan antarbangsa, dan menjamin adanya batas-batas negara bangsa," ujar Gus Ulil.


Sebab di dalam 'negara tradisional' tidak dikenal konsep teritorial atau batas kedaulatan, sehingga memiliki tradisi saling caplok. Kalau lemah dicaplok, kalau kuat mencaplok.


Tradisi tersebut berubah total dalam negara modern ketika muncul PBB sebagai pihak yang berperan menjaga batas yang dihormati secara sakral. Meskipun selalu ada saja negara yang melanggar kesepakatan soal kedaulatan wilayah tetapi secara prinsip sudah ada konsep mengenai batas negara yang pasti. 


"Nah, karena kita berhadapan dengan realitas baru ini, maka kita butuh merumuskan fiqih siyasah yang bisa menjawab masalah-masalah dan realitas baru ini," katanya.


"Itulah kenapa Muktamar Fiqih Peradaban di Surabaya ini membahas soal legalitas atau legitimasi fiqih untuk PBB," ujarnya.


PBB merupakan institusi yang secara de facto menjaga ketertiban dunia, meskipun tentu saja tidak sempurna dalam bekerja untuk perdamaian dunia. Namun, PBB ini institusi yang tidak pernah ada di dalam sejarah pengalaman umat Islam.


"Bagaimana hukumnya lembaga seperti PBB? Ini yang mau dibahas di dalam Muktamar Fiqih Peradaban ini. PBNU mengajak para ulama nasional dan dunia membahas masalah ini," pungkas Gus Ulil.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan