Nasional HALAQAH FIQIH PERADABAN

Halaqah Fiqih Peradaban, Cara NU Merespons Tata Dunia Baru

Kam, 20 Oktober 2022 | 15:30 WIB

Halaqah Fiqih Peradaban, Cara NU Merespons Tata Dunia Baru

Ketua Lakpesdam PBNU H Ulil Abshar Abdalla saat mengisi Halaqah Fiqh Peradaban yang bertajuk Fiqih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru’ di Pesantren Al-Falak Pagentongan, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (17/10/2022). (Foto: istimewa)

Bogor, NU Online
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU H Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan sejarah dunia Islam mengalami perubahan radikal yang ditandai dengan runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani tahun 1923 hingga berdirinya Turki Modern tahun 1924. 


"Ini (tahun 1924) adalah tahun bersejarah. Seperti ayam kehilangan induknya, setelah Turki Utsmani runtuh, umat Islam saat itu bingung. Karena, Turki Utsmani yang berpusat di Istanbul merupakan simbol pemersatu umat Islam. Bahkan, Kerajaan Mataram Islam ketika masih tegak pernah meminta restu, salah satunya kepada Turki Utsmani," kata Gus Ulil sapaan akrabnya saat mengisi Halaqah Fiqh Peradaban yang bertajuk Fiqih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru’ di Pesantren Al-Falak Pagentongan, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (17/10/2022) siang.


Gus Ulil memaparkan, umat Islam tidak bisa hidup tanpa negara, sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun bahwa manusia secara alamiah hidup membutuhkan tempat tinggal untuk membangun kebudayaan dan peradaban. Salah satu peradaban yang paling terlihat adalah negara. 


"Filosof Muslim Alfarabi yang hidup di abad ke-9 pernah menulis buku al-Madinatul Fadhilah yang berarti Negara Utama/Paripurna. Istilah Madinah juga bisa disebut sebagai negara. Jadi, negara itu bentuk peradaban yang paling kelihatan. Sedangkan inti peradaban, manusia tinggal di suatu tempat bersama-sama supaya dapat hidup tertib," papar Gus Ulil.


Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia) Jakarta ini mengungkapkan, ulama Indonesia saat itu membentuk Komite Hijaz yang ditugaskan untuk mendatangi Kerajaan Arab Saudi yang saat itu tahun 1924 sedang bergejolak ideologi.


Gus Ulil mengutip tafsir dari Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) bahwa adanya Komite Hijaz yang diketuai KH Abdul Wahab Chasbullah ternyata tidak sebatas menyampaikan perihal ijtihad amaliyah NU dan bermazhab empat, sebagaimana yang tertulis dalam surat.


"Komite Hijaz ternyata juga meneliti apakah Kerajaan Saudi bisa menggantikan Turki Utsmani atau tidak, karena saat itu ada gerakah khilafah di India dan Mesir yang berkeinginan menjadi pemimpin dunia Islam," ungkapnya.


"Komite Hijaz berkesimpulan, Kerajaan Saudi tidak bisa menggantikan Turki Utsmani. Padahal, dalam kaidahnya, mengangkat imam itu wajib. Terus siapa ganti Turki Utsmani? Para kiai berkesimpulan mendirikan negara baru dan mendukung pergerakan kaum muda untuk mendirikan negara nasional," lanjut Gus Ulil.


Intelektual asal Kabupaten Pati, Jawa Tengah ini menyebut, pendiri NU KH Hasyim Asy’ari yang memerintah anaknya, Wahid Hasyim, untuk masuk dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah pertanda memberikan restu berdirinya Indonesia dan penegasan tidak relevan untuk mendirikan negara khilafah. 


Dalam konteks tata dunia baru, kata Gus Ulil, konsep negara lama/tradisional berbeda dengan konsep negara baru/modern. Di sejarah Islam, sejak Dinasti Umayah, Abbasiyah, Turki Utsmani, hingga kerajaan atau kesultanan di Nusantara adalah contoh negara tradisional.


"Ciri negara tradisional tidak punya batas dan ekspansi. Negara yang kuat mencaplok negara yang lemah. Karena itu, dahulu Jihad adalah permanen dalam pengertian perang, sebagaimana penjelasan hukum jihad fardhu kifayah dalam kitab Fathul Mu’in. Karena, kitab ini dikarang di era sebelum munculnya negara modern. Sedangkan, negara modern itu jelas ada batasnya dan tidak boleh dilanggar, karena sudah ada kesepakatan yang dilindungi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa)," ucapnya.


Ia menegaskan, jika seseorang membaca kitab tidak secara kontekstual maka bisa keliru. Misalnya, saat ini jihad yang bermakna perang sudah tidak kontekstual. Maka, sekarang jihad dimaknai lain, karena Indonesia sudah punya Tentara Nasional Indonesia (TNI).


"Membaca kitab harus memahami konteks tata dunia baru. Inti dari Halaqah Fiqih Peradaban ini sebetulnya ingin mengajak para kiai untuk membaca kitab secara kontekstual," tegas Gus Ulil.


Kontributor: M. Zidni Nafi'
Editor: Kendi Setiawan