Nasional

Hari Buruh, Sarbumusi NU Tegaskan Tolak UU Cipta Kerja, Permenaker 5/2023, dan RUU Kesehatan

Ahad, 30 April 2023 | 13:00 WIB

Hari Buruh, Sarbumusi NU Tegaskan Tolak UU Cipta Kerja, Permenaker 5/2023, dan RUU Kesehatan

Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Nahdlatul Ulama. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Menjelang Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2023, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Nahdlatul Ulama secara tegas menolak tiga regulasi yang dinilai bertolak belakang dari upaya pelibatan buruh sebagai pembangunan ekonomi nasional.


Tiga regulasi yang ditolak itu adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global, dan RUU Kesehatan (Omnibus Law).


Presiden DPP K-Sarbumusi Irham Ali Saifuddin membeberkan alasan penolakan itu, yakni karena inklusi kesejahteraan buruh harus menjadi tumpuan orientasi utama bagi negara dalam membuat kebijakan pembangunan ekonomi nasional.


"Karenanya, Konfederasi Sarbumusi menolak segala upaya dan kebijakan apa pun yang bertolak belakang dari hal tersebut, termasuk UU Nomor 6 tahun 2023, Permenaker Nomor 5 tahun 2023 dan RUU Kesehatan," tegas Irham melalui keterangan tertulis yang diterima NU Online, Ahad (30/4/2023).


Irham pun mendorong pemerintah dan semua pihak terkait agar hendaknya menjadikan buruh sebagai salah satu pilar utama dari agenda kebangkitan perekonomian nasional. Sebab kini perekonomian nasional telah tumbuh mencapai lebih dari 5 persen.


"(Hal itu perlu dilakukan pemerintah) seiring dengan pemulihan perekonomian nasional yang sempat mengalami kontraksi hingga -2,07 persen pada 2020 dan kini telah tumbuh hingga 5,31 persen," kata Irham. 


Masalah-masalah UU Cipta Kerja

Perjalanan UU Cipta Kerja menuai kontroversi, bahkan penolakan dari semua pihak dengan gelombang aksi massa di berbagai daerah, mulai dari mahasiswa hingga buruh. Meski begitu, pemerintah dan DPR tetap bersikukuh memuluskan jalan UU Cipta Kerja. 


Jejak kontroversi UU Cipta Kerja terangkum dalam artikel NU Online berjudul Tuai Penolakan tapi Tetap Disahkan, Ini Jejak Kontroversi UU Cipta Kerja.


Sejumlah pasal di dalam UU Cipta Kerja juga menjadi sorotan bagi kaum buruh. Utamanya pada pasal 64-66 tentang pekerja alih daya atau outsourcing yang dinilai tidak jelas. Aturan ini dianggap akan menjadi ketentuan umum pemberian kerja di Indonesia dalam segala jenis pekerjaan.


Soal status pekerja alih daya ini sebenarnya sudah berjalan baik lewat UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Regulasi ini mengatur pekerja alih daya yang hanya berlaku untuk lima jenis pekerjaan seperti sopir, petugas kebersihan, sekuriti, katering, dan jasa migas pertambangan.


Kemudian ada pasal 79 dan pasal 84 mengenai pemberian cuti panjang yang tidak lagi menjadi kewajiban perusahaan. Pada pasal itu, perusahaan hanya memberikan beberapa jenis cuti seperti tahunan, cuti istirahat antar jam kerja, dan libur mingguan.


Masalah-masalah Permenaker 5/2023

Salah satu yang disorot Konfederasi Sarbumusi adalah karena melalui Permenaker ini, upah buruh di lima industri padat karya berorientasi ekspor dimungkinkan dipotong hingga 25 persen. Lima industri tersebut adalah industri tekstil dan pakaian jadi; industri alas kaki; industri kulit dan barang kulit; industri furnitur; dan industri mainan anak.


Pemotongan upah buruh itu dimungkinkan apabila perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor terdampak perubahan ekonomi global. Hal ini tercantum di dalam pasal 8 ayat 1 pada Bagian Ketiga Permenaker Nomor 5 Tahun 2023.


"Perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dapat melakukan penyesuaian besaran upah pekerja/buruh dengan ketentuan upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah yang biasa diterima," begitu bunyi aturan dalam pasal 8 ayat 1.


Masalah RUU Kesehatan

RUU Kesehatan menuai polemik. Salah satu yang memunculkan kontroversi adalah soal penyejajaran produk hasil tembakau dengan narkotika dan minuman beralkohol. 


Ketentuan itu termaktub di dalam draf rancangan pasal 154 ayat 3 yang berbunyi bahwa zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.


Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk 'RUU Kesehatan: Nasib Petani dan Industri Tembakau' pada 11 April 2023 lalu secara tegas juga menolak penyejajaran tembakau dengan zat adiktif terlarang lainnya karena akan berdampak pada kehidupan perekonomian petani tembakau di berbagai daerah.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad