Nasional

Hari Santri Sejalan dengan Kontribusi Pesantren Terhadap Bangsa

Sel, 26 Mei 2015 | 19:01 WIB

Lirboyo, NU Online
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa munculnya usulan Hari Santri merupakan sesuatu yang wajar sejalan dengan rekam jejak kontribusi pesantren yang sangat besar terhadap bangsa dan negara.
<>
“Hari Santri merupakan wujud apresiasi negara atas kiprah dan perjuangan pesantren dan segenap santrinya yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara,” demikian penegasan Menag saat memberikan sambutan pada Penutupan Musyawarah Nasional (Munas) III Himpunan Alumni Santri Lirboyo (Himasal) dan Rakernas Lembaga Ittihadul Muballighin (LIM) di Aula Mu’tamar, Pesantren Lirboyo, Kediri, Senin (25/05) malam seperti dikutip dari situs kemenag.go.id.

Hadir pada kegiatan yang mengambil tema “Menjalin Ukhuwwah Demi Berkhidmah untuk Umat dan Bangsa”, para Pengasuh dan Pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Marwan Jakfar, Kakanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur, para pengurus cabang Himasal seluruh Indonesia, serta ribuan alumni dan santri Pesantren Lirboyo.

“Saya akan mendorong berbagai unsur untuk berdiskusi dalam rangka memperjuangkan penetapan Hari Santri sebagai hari nasional,” tambah Menag disambut tepuk tangan peserta Munas dan Rakernas yang memadati Aula Muktamar Lirboyo.

Di hadapan ribuan santri dan alumni pesantren Lirboyo, Menag mengajak mereka untuk menjadikan Munas Himasal III yang juga sekaligus Reuni Akbar V  Pesantren Lirboyo ini sebagai momentum kebangkitan kembali pesantren. Menurutnya, pesantren sudah eksis dan kontributif bahkan sejak Indonesia sebelum merdeka. Pesantren Lirboyo misalnya, didirikan oleh KH Abdul Karim (alm) pada tahun 1910 dan turut aktif dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa.

“Tahun 1944, Lirboyo menjadi tempat pelatihan pasukan Hizbullah. KH Mahrus Ali saat itu bahkan mengirim 440 santri terlatih untukmembantu Bung Tomo dan para pejuang mempertahankan Surabaya dari serangan Sekutu yang berujung pada peristiwa 10 November,” kenang Menag yang mengaku mendapati catatan sejarah ini dari buku ayahandanya (KH Saifuddin Zuhri alm) yang berjudul “Guruku Orang-Orang dari Pesantren”.

Selain itu, lanjut Menag, pesantren juga berkontribusi dalam banyak bidang bagi pembangunan bangsa ini. Di bidang pendidikan, para kyai pesantren sejak dulu sudah berupaya dalam melakukan transformasi di tengah mobilitas industri. 

“Dulu, KH Hasyim Asyari menghidupkan pengajian di surau-surau untuk memberi penjelasan kepada masyarakat tentang dampak perkembangan industri tembakau di Jawa Timur,” tuturnya.

Kontribusi pesantren juga nampak dalam perumusan konsep kenegaraan. Dikatakan Menag, kalangan pesantren yang diwakili KH Wahid Hasyim di era 1950-an dan KH Ahmad Shiddiq di era 1980-an, terlibat aktif dalam perdebatan penting dengan beberapa tokoh nasionalis hingga menghasilkan rumusan Pancasila sebagai perekat NKRI.

Di era pasca reformasi, lanjutnya, bisa dilihat juga bagaimana tokoh-tokoh dan alumni pesantren tampil mengesankan sebagai pimpinan negeri ini, baik di ekskutif, legislatif, yudikatif, maupun bidang lainnya.

Atas nama pribadi dan pemerintah, Menag memberikan apresiasi kepada para kyai, ustadz, santri, dan masyarakat pesantren atas konsistensi perjuangan dan pengabdian bersama-sama pemerintah dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan umat. Apresiasi juga diberikan atas kontribusi kalangan pesantren dalam mengajarkan paham Islam yang ramah, bukan Islam yang marah; Islam yang mengusung prinsip tawasuth, tasamuh, dan tawazun sebagai manifestasi ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin.

“Dirgahayu Pesantren! Maju terus alumni Lirboyo. Teruslah hidup memberkah dan memberi maslahah,” harap Menag.

Tiga ciri pesantren

Menag menambahkan bahwa pesantren  merupakan lembaga keagamaan Islam yang khas Indonesia. Menurutnya, kita akan sulit mendapati lembaga pendidikan seperti pesantren di belahan dunia lain. Di antara keragaman pesantren yang begitu besar, Menag melihat setidaknya ada tiga ciri utama pesantren:

Pertama, setiap pesantren mengajarkan paham Islam yang moderat, wasathiyah, serta tidak tatharruf atau ekstrim. “Setiap pesantren di Indonesia selalu mengembangkan paham Ahlussunah wal Jamaah,” jelas Menag. 

Kedua, setiap pesantren mengajarkan kepada santrinya untuk berjiwa besar. Dalam melihat pandangan yang beragam dan tidak tunggal, para santri terbiasa melihat segala persoalan secara komprehensif, tidak hanya dari satu perspektif saja. 

“Santri punya jiwa besar dalam melihat perbedaan yang ada. Ini juga implikasi dari paham yang moderat sehingga tidak mudah menyalahkan atau bahkan mengkafirkan paham yang berbeda dengan dirinya,” terang Menag disambut tepuk tangan hadirin.

Menag lalu menyitir sebuah ungkapan yang akrab ditelinga santri pesantren: “Ra’yi shawaabun yahtamilul-khatha’ wa ra’yu ghaairi khathaun yahtamilus-shawab” (pendapatku adalah benar, tapi juga  mengandung kesalahan, sedang pendapat selainku itu salah tapi juga mengandung kebenaran). Menurut Menag, ungkapan seperti ini merupakan cara bagaimana kebenaran tidak dimonopoli oleh diri sendiri. 

“Mesti kita yakin dengan kebenaran itu, masih ada ruang pada orang lain untuk mempunyai kebenaran pada dirinya,” tutur Menag.

Sedangkan ciri pesantren yang ketiga adalah cinta Tanah Air. Rasa cinta ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keindonesiaan, dan merupakan refleksi dari hubbul wathan minal iman.

“Ulama dulu menanamkan bahwa hanya di bumi yang rukun dan damai, maka syariah Islam bisa dijalankan, kita bisa ibadah, hablum-minallah dan hablumminan-nas bisa optimal. Karenanya, membela Tanah Air tidak bisa dipisahkan dari kadar keimanan seseorang,” jelasnya.

Sebelumnya, Pengasuh Pesantren Lirboyo dalam sambutannya menyampaikan bahwa jumlah santri Lirboyo yang tercatat saat ini mencapai 15.000 orang. Selain itu, Lirboyo juga sudah melahirkan ratusan ribu alumni yang tergabung dalam Himasal dan tersebar di seluruh Indonesia dengan berbagai kiprahnya di masyarakat. “Namun, kalau dilihat dari dekat, Lirboyo ya hanya begini adanya,” ujar Kyai Anwar.

Di hadapan para alumni dan santri yang hadir, Kyai Anwar mengingatkan kembali dengan pesan pendiri pesantren bahwa “Sopo wonge ngopeni umat, maka sing dadi butuhe bakal dicukupi Pengeran” (barangsiapa membina umat, maka yang menjadi kebutuhannya akan dipenuhi oleh Allah). 

Kyai Anwar berharap para santri dan alumni senantiasa menjaga kekompakan, kebersamaan, dan komunikasi dalam menjalankan tugas. “Seluruh pengurus dan anggota himasal dan LIM agar terus berupaya menjalankan semua keputusan, program, dan rekomendasi dalam Munas dan Rakernas ini,” harapnya.

Sementara itu, selaku Ketum Himasal terpilih, KH Abdul Aziz Manshur mengatakan bahwa Himasal merupakan wadah dan sarana komunikasi alumni. Kyai Aziz berpesan agar seluruh alumni tetap berpegang pada pesan yang pernah disampaikan para Masyayikh Lirboyo, meski sudah tidak di pesnatren Lirboyo lagi.

“Alumni tetap harus bisa berkhidmah kepada masyarakat, sebagaimana amanat hasil komisi yang akan menjadi pijakan bagi para pengurus yang baru,” katanya. (mukafi niam)