Nasional MUNAS-KONBES NU 2019

Hasil Bahtsul Masail Maudluiyah untuk Perdamaian Dunia

Kam, 28 Februari 2019 | 07:00 WIB

Hasil Bahtsul Masail Maudluiyah untuk Perdamaian Dunia

Komisi Bahtsul Masail Maidluiyyah Munas dan Konbes NU 2019

Kota Banjar, NU Online
Kemelut perang Timur Tengah menjadi persaingan yang sangat tajam dan brutal antarnegara guna memperebutkan hegemoni. Arab Saudi, Iran, dan Turki berebut pengaruh di belahan Timur Tengah. Akibatnya, konflik tersebut tumpah menjadi krisis yang berkepanjangan.

“Tumpah menjadi krisis termasuk di Eropa dan Barat umumnya dan termasuk di Indonesia,” kata Katib 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf di Bahtsul Masail Maudluiyah pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2).

Maka dari itu, rumusan solusi persoalan hubungan negara dan warga negara pada pembahasan di bahtsul masail ini, menurutnya, harus mewujudkan perdamaian.

“Tujuannya ke arah ijadus salam al-alami (mewujudkan perdamaian dunia),” katanya.

Gus Yahya, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa NU sejak dulu sudah mengambil posisi moral dengan menempatkan persaudaraan sebagai titik pijaknya.

“NU mengambil posisi moral untuk menggali ukhuwah wathaniyah,” ujarnya.

Dengan begitu, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah itu menyampaikan bahwa NU selalu menempatkan dirinya untuk mengusulkan perdamaian pada konflik yang terjadi, tidak turut berperang melawan salah satunya.

Ia mencontohkan perang Pemerintah Filipina dan Bangsa Moro. NU tidak justru turut menyatakan perang dengan Pemerintah Filipina sebagai bentuk solidaritas dengan sesama Islam guna memerangi kafir, tetapi bagaimana perdamaian itu terwujud di sana.

“Kita tidak serta melibatkan diri, tapi kita mengambil perdamaian,” tegasnya.

Oleh karena itu, Gus Yahya menegaskan sebelum musyawarah dimulai, bahwa pembahasan kali ini harus menunjukkan hujjah (dasar) mengingat posisi moralnya sudah ditunjukkan sejak 35 tahun lalu melalui Muktamar NU 1984.

“Posisi moral ini belum sepenuhnya, belum lengkap disertai dengan hujah ilmiah, lebih lagi fi'liyah. Ini kita butuhkan karena ingin mencarikan jalan keluar,” pungkasnya.

Pembahasan di komisi maudluiyah ini juga dihadiri oleh Mustasyar PBNU Prof Machasin, Rais Syuriyah PBNU KH Subhan Ma’mun dan KH Zaki Mubarok, Katib PBNU H Asrorun Niam Sholeh. Hadir pula KH Afifuddin Muhajir menyampaikan berbagai pandangannya. (Syakir NF/Muhammad Faizin)