Tangerang Selatan, NU Online
Poligami merupakan isu yang tidak bisa memaksa seseorang untuk harus setuju atau tidak setuju. Hal itu disampaikan oleh peraih PhD dalam Gender and Islamic Studies dari The University of Melbourne, Nina Nurmila.
“Saya lahir di (kehidupan) monogami. Saya penasaran dengan isu dan kehidupan poligami yang katanya indah,” ungkapnya saat diskusi Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (20/9).
Dosen UIN Sunan Gunung Jati Bandung itu mengungkapkan mayoritas pendapat yang ada di literatur tentang poligami adalah pendapat dari laki-laki normatif sehingga kemudian dilihat ada kekosongan ilmu pengetahuan yang harus diisi yaitu tentang bagaimana perspektif perempuan yang mengalami poligami itu sendiri.
Ia menyebut ada tiga kelompok interpretasi tentang poligami di Indonesia. Pertama, menganggap bahwa poligami itu sunah rasul. Kelompok ini menganggap bahwa poligami bagian dari syariat Islam yang kemudian dipromosikan. Kelompok tersebut menurutnya hanya kelompok minoritas yang jumlahnya di bawah 5%.
Kedua, menganggap bahwa poligami boleh, asal adil. Kelompok ini menurutnya menjadi kelompok mayoritas yang jumlahnya 80 sampai 90%. Kelompok ketiga adalah yang mengharamkan poligami. Menurutnya kelompok ini jumlahnya kurang dari 5%.
Setelah melakukan penelitian di lapangan, penulis buku Women, Friday, and Everydaylife, menemukan banyak fakta yang menunjukkan bahwa poligami menimbulkan banyak kekerasan. Kekerasan tersebut meliputi fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi.
Hal tersebut dibuktikan melalui wawancara Nina dengan istri seorang anggota DPR yang dipoligami. Istri tersebut diceritakan berprofesi sebagai seorang guru dengan 6 anak. Kekerasan fisik dialami ketika perempuan tersebut bertengkar dengan suaminya sampai sang suami mendorongnya hingga terjatuh dan patah tangannya.
“Pertengkaran tersebut dipicu oleh sakit hati karena mengetahui suaminya menikah lagi secara diam-diam,” tutur Nina.
Kekerasan psikologis juga dialami sang istri ketika sedang hamil, suaminya malah sibuk jalan-jalan dengan istri keduanya menggunakan mobil dinas yang baru diterimanya. Padahal, sementara sang istri mau ke dokter harus naik becak sampai becaknya jatuh dan terbalik.
Selain itu, kekerasan ekonomi pun muncul dalam keadaan yang lain. Diceritakan Nina tentang adanya seorang suami yang lupa dengan kewajiban terhadap keluarga pertamanya setelah berpoligami.
“Ia melupakan anak-anak yang menderita dan istri yang setiap hari menunggunya pulang dengan berharap menafkahinya,” ujarnya.
Menurutnya hal itu diperkeruh dengan adanya umat muslim yang mengklaim bahwa poligami adalah Islam, dan apabila tidak poligami berarti tidak menerima Islam secara kaffah. Padahal, ia menegaskan bahwa poligami bukan hanya dipraktikkan oleh Muslim.
“Contohnya Amerika, ada yang menikahi 21 istri sekaligus. Di satu rumahkan semua istrinya selama 12 tahun,” ujarnya.
Selain Amerika, negara China dan Afrika pun mempraktikkan poligami tanpa memandang hal tersebut agama Islam atau bukan.
Ia menegaskan, yang Islami bukan poligaminya, tetapi Islam dalam Al-Qur’an Surat Annisa ayat 2, ayat 3 dan 29 yang justru ditekankan adalah pentingnya berbuat adil. Sehingga menurutnya pentingnya berbuat adil itu dekat kalau hanya bermonogami.
“Hanya agama Islam yang menulis secara jelas dan eksplisit untuk poligami. Tetapi sayangnya masyarakat membaca ayat poligami hanya setengah, tidak sampai tuntas. Padahal, beristri satu saja itu lebih dekat dengan tidak berbuat aniaya,” tambahnya.
Diskusi Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia diselenggarakan Australian Embassy Jakarta dengan bekerja sama dengan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Acara juga menghadirkan Director of Centre for Islamic
Thought and Education University of South Professor Mohamad Abdalla, Australia Ismatu Ropi, Fahd Pahdepie, Nur Huda, Amelia Fauzia. (M Ilhamul Qolbi/Kendi Setiawan)