Nasional

Hj Shinta Nuriyah: Disabilitas Butuh Pemenuhan Hak, bukan Belas Kasih

NU Online  ·  Jumat, 30 November 2018 | 14:30 WIB

Jakarta, NU Online
Hj Shinta Nuriyah Wahid mengampanyekan persepsi bahwa kalangan disabilitas sebagai kelompok warga negara yang mandiri dan sama di depan hukum. Ia memberikan catatan bahwa sayangnya masyarakat masih menganggap kalangan disabilitas sebagai orang sakit yang butuh kasih sayang.

Demikian disampaikan Hj Shinta pada peluncuran buku Fiqih Disabilitas oleh Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta Pusat, Kamis (29/11) siang.

“Sekali lagi, orang berkebutuhan khusus tidak perlu dikasihani, tapi perlu dipenuhi hak-haknya sebagai manusia seutuhnya,” kata Hj Shinta.

Ia bercerita bahwa sejak terkena musibah pada tahun 1990 M ia aktif memberikan penguatan kepada kalangan disabilitas.

“Kami dulu keliling Indonesia memberikan kursi roda ke mereka bukan Cuma-Cuma. Kita minta mereka membayar hanya Rp.25.000. Hal ini tidak ditujukan untuk menarik uang itu, tapi semata bahwa kursi ini tidak dibagikan cuma-cuma,” kata Hj Shinta.

Kita ingin menghadirkan persepsi di kalangan disabilitas bahwa fasilitas yang mereka dapatkan dari kami bukan dibagikan atas dasar kasihan. Fasilitas seperti kursi roda, tongkat, dan lain sebagainya didapat dengan transaksi sebagaimana orang pada umumnya.

“Kita ingin mereka sadar bahwa kursi roda itu dibeli dengan jerih payah mereka. Pasalnya mereka tidak perlu dikasihani. Ini paradigmanya,” kata Hj Shinta.

Pada saat ke Jepang ia menyatakan kekaguman karena infrastruktur di sebuah rumah sakit di sana sangat ramah terhadap kalangan disabilitas. Dari situ, ia melakukan gerakan ramah disabilitas lebih intensif.

Ia bercerita bahwa pihaknya pernah membuat Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN) 2000. Pihaknya membuat toilet, lift, loket untuk disabilitas. Ia melibatkan Agum Gumelar yang saat itu jadi Menhub saat Gus Dur jadi presiden.

“Tapi ketika Gus Dur turun, semua gerakan itu ikut turun. Yang tersisa hanya lift. Itu pun digunakan oleh mereka yang nondisabilitas. Kita yang disabilitas harus antre dengan mereka. Artinya kesadaran masyarakat masih rendah,” kata Hj Shinta. (Alhafiz K)