Nasional

Idul Fitri Identik dengan Ketupat, Ini Filosofinya Menurut Ketua Lesbumi PBNU

Kam, 27 April 2023 | 14:00 WIB

Idul Fitri Identik dengan Ketupat, Ini Filosofinya Menurut Ketua Lesbumi PBNU

Ilustrasi ketupat. (Foto: NU Online/Freepik)

Cirebon, NU Online
Idul Fitri merupakan suatu hari besar nan istimewa bagi umat Islam. Bagi kaum Muslimin Indonesia, perayaan Idul Fitri identik dengan ketupat, makanan yang disajikan pada hari istimewa tersebut dan perayaan yang mengiringinya, seperti Grebeg Syawal atau Lebaran Ketupat yang digelar sepekan selepas Idul Fitri.

 

Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) KH Jadul Maula menjelaskan bahwa ketupat memiliki filosofi yang mendalam. Dalam bahasa Jawa, ketupat diistilahkan dengan kupat. Menurutnya, istilah itu merupakan akronim dari ngaku lepat.

 

Selain itu, kupat memiliki bentuk persegi empat, simpulnya juga memiliki bentuk yang serupa. Karenanya, empat merupakan angka istimewa dalam ketupat dan mengandung nilai filosofi yang dalam. Demikian dijelaskan KH Jadul Maula dalam Diskusi Budaya “Ragam Tradisi Syawalan di Nusantara” yang digelar Ngaji Sejarah (Jirah) di Latar Wingking, Jalan Ki Gede Mayaguna, Kaliwadas, Sumber, Cirebon, Jawa Barat pada Rabu (26/4/2023) malam.

 

Menurut Kiai Jadul, empat tersebut memiliki makna empat arah mata angin, yaitu Utara, Barat, Selatan, dan Timur. Empat juga bermakna empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dan khulafaur rasyidin, yaitu Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

 

Tidak hanya itu, empat juga mengandung arti jumlah punakawan dalam kisah pewayangan Jawa, yaitu Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Empat juga memiliki arti spiritual, yaitu empat pimpinan malaikat, yaitu Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail.

 

Di samping itu, Kiai Jadul juga menyampaikan bahwa dalam Grebeg Syawal di Jawa, ada gunungan yang terdapat pohon dan empat binatang. Pohon tersebut dimaknai sebagai pancer, sedangkan empat binatang ini adalah harimau, banteng, kera, dan burung merak. Masing-masing binatang ini mewakili nafsu dalam diri manusia.

 

Harimau adalah bentuk simbolisasi nafsu amarah. Hal tersebut harus dikendalikan dan tentunya dapat diarahkan menjadi keberanian. “Kalau gak dididik bisa merusak,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, Yogyakarta itu.

 

Banteng merupakan gambaran nafsu atau dorongan menyukai hal yang indah dan enak, seperti senang pada lawan jenis, harta benda, dan semacamnya. “Bisa merusak kalau tidak dikendalikan. Kalau dikendalikan bisa rajin bekerja, suka berbagi, menolong, dan seterusnya,” katanya.

 

Sementara itu, kera merupakan perwajahan nafsu lawamah, teriak mencela ataupun kebutuhan dasar, makan minum, kawin, nutrisi dan reproduksi. “Kalau tidak dikendalikan bisa merusak. Makan banyak penyakit. Tidak makan sakit. Harus dikendalikan dengan benar,” ujarnya.

 

Adapun burung merak merupakan simbol dari nafsu muthmainnah, ketenangan. Namun, hal ini juga perlu diarahkan. Sebab, berlebihan juga juga bisa merusak.

 

Menurut Kiai Jadul, semua makna filosofis empat itulah yang sebetulnya terus diingatkan melalui kehadiran ketupat pada Idul Fitri. Makna-makna tersebut yang perlu diperhatikan dan dikelola dengan betul-betul oleh umat Islam.

 

“Itu yang harus dijaga, dikelola dengan benar untuk terciptanya kesempurnaan manusia sebagai manusia karena diturunkan Allah ke dunia tidak main-main sebagai khalifatullah, dia harus bisa mengenali, mengendalikan, dan mengarahkan empat itu,” katanya.

 

Kiai Jadul menegaskan bahwa makna filosofi bukan sekadar pemaknaan. Namun, menurutnya, hal tersebut dapat memengaruhi realitas sosial yang ada. Makna-makna itu  mampu menciptakan masyarakat sejahtera, bahagia, adil makmur. Namun, makna filosofis itu semakin terkikis sehingga bersisa tradisinya saja secara artifisial.

 

“Nggak dikenali lagi asal usulnya dan ke mana arah filosofinya,” pungkasnya.

 

Turut hadir dalam kegiatan diskusi budaya ini Ketua Lesbumi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Cirebon M Ilfull Azka Zulkifli dan Pustakawan Wangsakerta Kesultanan Kanoman Farihin Niskala.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi