Nasional HALAQAH FIQIH PERADABAN

Ini Alasan PBNU Pakai Istilah Peradaban ke Kancah Internasional

Kam, 22 September 2022 | 12:45 WIB

Ini Alasan PBNU Pakai Istilah Peradaban ke Kancah Internasional

Tangkapan layar Ketua Lakpesdam PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla saat mengisi Halaqah Fiqih Peradaban di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Selasa (20/9/2022).  

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf akhir-akhir ini sedang melakukan banyak kunjungan ke berbagai negara di dunia. Di kancah internasional itulah, PBNU memakai satu istilah yang menjadi kata kunci, yakni peradaban. 


PBNU juga berencana akan menggelar Religion of Twenty (R20) di Bali, pada November 2022 mendatang, serta Muktamar Internasional Fiqih Peradaban pada Januari 2023 yang merupakan puncak dari Halaqah Fiqih Peradaban di 250 pesantren se-Indonesia yang digelar sejak Agustus 2022 lalu. 


Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla membeberkan alasan PBNU memakai istilah peradaban untuk disosialisasikan ke kancah internasional. Menurutnya, peradaban merupakan istilah yang tidak kontroversial sekaligus inklusif sehingga bisa melibatkan banyak orang untuk diajak berdialog. 


"Ketika istilah peradaban itu dipakai oleh Nahdlatul Ulama, kita bisa mendiskusikan banyak hal di dalamnya dan memang tidak terlalu kontroversial. Ini istilah yang baik-baik saja, tidak menimbulkan kecurigaan dan ketakutan. Karena istilah ini memang istilah yang bisa menerima semua masukan dari berbagai kelompok," ungkap Gus Ulil dalam Halaqah Fiqih Peradaban di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Selasa (20/9/2022).  


Dijelaskan Gus Ulil, istilah peradaban itu saat ini sedang dibawa Gus Yahya ke dalam agenda utama PBNU yakni melakukan diplomasi global. Gus Yahya ingin membawa NU ke panggung internasional seraya berupaya mendialogkan aspirasi NU dengan para pemimpin agama-agama di dunia. 


"Tentu saja ketika Gus Yahya masuk ke panggung global, itu harus ada sesuatu yang ‘dijual’. Kalau tidak ada jualan, tidak bisa. Jadi bagaimana kita menjual tema dan gagasan ke luar, sehingga ketika Gus Yahya masuk ke gelanggang itu maka orang mau mendengarkan," ungkap Ketua Panitia Nasional Halaqah Fiqih Peradaban itu.


“Ketika istilah yang dipakai adalah peradaban itu orang langsung mau mendengarkan. Inilah kenapa istilah peradaban dipakai. Karena memang bisa mengikutkan dan melibatkan banyak orang,” tambah Gus Ulil. 


Istilah Peradaban Bukan Barang Baru

Gus Ulil menjelaskan bahwa istilah peradaban ini bukan merupakan barang baru. Sebab istilah ini telah diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun yang dikenal sebagai ulama mazhab Maliki, Bapak Ilmu Sosiologi, sekaligus sejarawan yang hidup pada abad ke-14. Ibnu Khaldun hidup di rentang tahun 1332-1406. 


“Dia sejarawan besar, menulis kitab sejarah. Kitab Al-‘Ibar, dan kemudian diberikan mukadimah. Mukadimahnyanya sendiri satu jilid. Jadi, kitabnya 6 jilid, 1 jilidnya adalah mukadimahnya,” jelas Gus Ulil. 


Menurut Gus Ulil, di dalam kitab itu Ibnu Khaldun terlihat sebagai seorang ulama fiqih yang mampu mengamati peradaban masyarakat. Ibnu Khaldun menggambarkan tentang bangsa-bangsa dan peradaban pada masanya itu lahir, tumbuh, besar, dewasa, menua, sampai peradaban itu mati. 


“Itu semua dilakukan berdasarkan pengamatan-pengamatan beliau terhadap masyarakat Arab dan sekitarnya. Kemampuan observasinya luar biasa. Dia mengistilahkan peradaban itu dengan istilah al-‘umran al-basyari (meramaikan masyarakat),” jelas Gus Ulil. 


Sebagai informasi, Halaqah Fiqih Peradaban di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur ini mengangkat tema Membaca Fiqih Siyasah dalam Konteks NKRI dan Negara Bangsa. Halaqah ini dibagi menjadi dua sesi. Setiap sesi diisi oleh dua narasumber. 


Pada sesi pertama diisi oleh Mudir Ma’had Aly Situbondo KHR Azaim Ibrahimy dan Rais Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen. Sementara narasumber pada sesi kedua adalah Gus Ulil dan Rais Syuriyah PCNU sekaligus Dosen Ma’had Aly Situbondo KH Zaenal Mu’in.  


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan