Nasional

Ini Pandangan Fiqih PBNU Soal Shalat Jumat di Jalanan

Sel, 22 November 2016 | 00:03 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengulas kembali pandangan ulama perihal aktivitas rangkaian ibadah shalat Jumat di jalanan. Pihak PBNU menyebutkan hukum ibadah shalat Jumat di jalanan yang dikemukakan para ulama mulai dari makruh hingga haram.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali di Gedung PBNU, Jakarta, Senin (21/11) malam. Ulasan ini diangkat menyusul rencana gelar sajadah oleh sekelompok umat Islam yang dengan sengaja mengagendakan shalat Jumat di jalan protokoler di Jakarta pada 25 November 2016 dan 2 Desember 2016 mendatang.

Menurut Kiai Moqsith, aktivitas ibadah Jumat pada masa Rasulullah SAW selalu diselenggarakan di masjid. Dari sini para ulama kemudian menyimpulkan bahwa aktivitas shalat Jumat di jalanan hukumnya makruh.

“Meskipun kemudian hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Madzhab Maliki mewajibkan shalat Jumat di dalam masjid. Tetapi kita tahu ada madzhab lain seperti Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanafi yang membolehkan shalat Jumat tidak di dalam masjid,” kata Kiai Moqsith kepada NU Online.

Meskipun sah, shalat Jumat di jalanan itu tetap tak dianjurkan bahkan terlarang. Pendapat ini diacukan pada hadits yang melarang umat Islam menjalankan shalat di tujuh tempat yang salah satunya adalah jalanan.

Nabi SAW tidak menjelaskan alasan eksplisit pelarangan itu. Namun, argumen yang bisa diduga dari pelarangan shalat di jalan itu adalah karena bisa mengganggu kekhusukan shalat dan membuat tidak nyaman orang yang lewat. Para ulama memberi catatan bahwa pelarangan itu hanya sampai pada level makruh bukan haram.

Shalat sendirian di jalanan dimakruhkan. Tetapi shalat Jumat dengan massa (jamaah) besar di jalanan bisa diharamkan. Sebab, melaksanakan shalat Jumat di jalanan Jakarta jelas akan membuka terjadinya kemafsadatan yang tak diinginkan. Ia akan mengganggu ketertiban umum.

Bayangkanlah, jika warga menduduki jalan-jalan utama Jakarta selama satu setengah jam shalat Jumat, maka itu akan membuat kemacetan total. Jakarta bisa lumpuh. Padahal, ada banyak orang lain yang hendak memanfaatkan jalan-jalan tersebut dengan segera, seperti orang yang harus dibawa ke rumah sakit karena sedang sakit keras, perempuan yang mau melahirkan, dan lain-lain.

Di samping memacetkan jalan-jalan protokol Jakarta, shalat Jumat di jalanan juga potensial berdampak pada penelantaran masjid. Padahal kita tahu, memakmurkan masjid itu bagian dari anjuran agama.

Mengganggu ketertiban umum dan membuat kemacetan sudah cukup menjadi alasan utama untuk mengharamkan pelaksanaan shalat Jumat di jalanan. Keharaman ini tentu tak terkait langsung dengan shalat Jumatnya itu sendiri melainkan dengan pelaksanaannya yang mengganggu banyak orang karena di laksanakan di jalan-jalan. Ini yang dalam ushul fikih disebut muharram li ’aridhin.

“Kalau begitu, tidak boleh melakukan aktivitas shalat Jumat di jalanan. Bahkan ada ulama yang memakruhkan shalat Jumat dilakukan di jalanan. Apalagi masjid-masjid yang tersedia cukup lebar. Sehingga praktis tidak ada alasan untuk melakukan shalat Jumat di tengah jalan,” kata salah seorang dosen pengampu mata kuliah tafsir di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Menurutnya, hal ini akan sangat baik kalau sekelompok umat Islam yang merencanakan aksi gelar sajadah melakukan kajian fiqih secara mendalam terlebih dahulu dengan melakukan telaah atas pandangan para ulama. (Alhafiz K)