Nasional

Ini Penyebab Beragama di Nusantara Banyak Kenduri

NU Online  ·  Jumat, 4 Agustus 2017 | 20:01 WIB

Jakarta, NU Online 
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU KH Agus Sunyoto mengatakan di dalam bahasa lokal Nusantara hampir tidak ditemukan kata searti dengan miskin. 

“Kalau kita belajar ilmu bahasa, kita akan menemukan fakta bahasa-bahasa lokal kuno, Jawa kuno, Sunda kuno, Bali, tidak kita temukan kosa kata yang sama artinya dengan miskin. Tidak ada,” katanya di gedung PBNU, Jumat 28 Juli lalu.  

Menurut dia, miskin berasal dari bahasa Arab, kata yang belakangan masuk karena pengaruh Islam. Kata fakir, juga bahasa Arab. Begitu juga kata melarat, yang berubah dari asal kata mudharat yang berasal dari bahasa yang sama. 

“Tidak dikenal istilah miskin,” katanya pada Silaturahim Kebudayaan bertema “Meneguhkan Kebudayaan, Memperkuat Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang digelar Lesbumi PBNU.

Hal itu, lanjutnya, berkaitan dengan pemilikan makanan orang Nusantara. Pada zaman kuno, di tiap desa, pedukuhan, rumah, orang Nusantara mempunyai lumbung makanan persediaan. 

“Nah, orang yang berlimpah makanan punya kebiasaan cara berpikir untuk membagi makanan.”

Jadi, kata dia, orang Jawa itu mulai lahir sudah mengucapkan syukur dengan membagi makanan. Namanya berokohan. Pada kegiatan itu tetangga diundang untuk mencicipi. Kemudian berdoa bersama, pulang membawa berkat. 

Pada usia tujuh hari setelah kelahiran, ada upacara lepas tali pusar. Slametan lagi. Makan lagi. Pulang bawa akanan lagi. 

“Nanti selapanan, 35 hari, makan lagi. Upacara lagi. Turun tanah, khitan, kawin, lamaran, dengan kenduri selamaten, sampai mati pun makan karena kita lumbung makanan,” jelasnya.

Kemudian, penulis buku populer “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah” ini belakangan bermunculan cara pandang Timur Tengah yang melihat membagi makanan secara aneh. Bagi mereka mubazir dan bid’ah. 

“Mereka memandang dengan cara etik, pandangan orang asing.sementara pandangan kita wajar, wong kita berlimpah makanan. Kalau tidak membagi makanan, salah kita. Kenapa Islam kita berbeda? Karena melimpah makanan,” katanya. (Abdullah Alawi)