Nasional

Ini Tiga Langkah Sosialisasi Wakaf

Jum, 19 Juli 2019 | 09:00 WIB

Jakarta, NU Online
Sampai hari ini, narasi wakaf masih sangat kurang. Tak banyak orang yang memahami bahkan mengetahui perihal term tersebut. Hal demikian diakui betul oleh Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Mohammad Nuh.

Melihat fakta demikian, Nuh berpandangan pentingnya sosialisasi melalui berbagai sektor agar semakin banyak narasi dan dikenal oleh masyarakat umum. Ia mengungkapkan bahwa tugasnya adalah menyampaikan.

“Oleh karena itu harus ada sosialisasi terus menerus,” katanya saat ditemui NU Online saat acara Forum Kajian Wakaf dengan tema Potensi Wakaf Saham dan Tantangannya di Indonesia di Bayt al-Qur’an, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (17/7).

Nuh mengungkapkan bahwa sosialisasi perwakafan dapat ditempuh melalui tiga cara. Pertama, sosialisasi terstruktur, yakni melalui pendidikan. Ia berharap wakaf dapat menjadi salah satu materi bahasan dalam setiap jenjang pendidikan formal. “Yang paling gampang lewat pendidikan. Jadi, materi agama itu harus ada pokok bahasan tentang wakaf,” katanya. 

Bahkan, sejak siswa duduk di bangku sekolah dasar, mereka mestinya sudah dikenalkan. Tidak hanya melalui materi pelajaran, tetapi juga melalui pembiasaan, praktik secara langsung. “Mulai sd sudah tahu. Bahkan di sekolah dibuat habituasi,” ujarnya.

Biasanya, siswa-siswi sekolah bersedekah saban Jumat. Nuh berharap setiap Jumat tersebut dapat bergantian sedekah dan wakaf. Hasil wakaf tersebut dibuat kantin. Lalu peserta didik diarahkan untuk membeli sesuatu di sana dengan disampaikan bahwa hasil keuntungan tersebut akan diberikan untuk maukuf alaih, penerima hasil wakaf, dengan bentuk beasiswa, misalnya.

“Kita dorong anak-anak untuk beli di sini. Kalau untung bisa dibagikan lagi. Keuntungannya untuk mauquf alaih, misalnya beasiswa untuk siswa,” jelasnya.

Kedua, menurutnya, sosialisasi melalui media publik. Media massa juga berperan penting dalam menyampaikan narasi wakaf ke khalayak sebagai salah satu bentuk sosialisasi dan pemberian pengetahuan perwakafan. “Informasi publik dari cetakan hingga online. Space yang ada kita isi, kita jejali dengan wakaf,” ucapnya.

Ketiga, lanjutnya, melalui kebijakan (policy). Sebab, informasi bisa tersampaikan secara terstruktur dan sistematis bisa melalui kebijakan yang ditetapkan oleh para pemangkunya.

“Kalau seandainya bagi umat Islam diberi keleluasaan zakat disalurkan sendiri boleh. Tapi ada satu atau setengah persen untuk wakaf. Potong di kementerian Keuangan,” katanya.

Jika hal tersebut dapat terwujud, menurutnya bakal dahsyat. Hasil wakafa tersebut langsung dibelikan sukuk yang untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya syar’i juga. Dari hal tersebut, katanya, kesejahteraan akan mudah terwujud. “Umat yang (penting) pertama itu kesejahteraan,” katanya.

Sebab, hasil dari wakaf tersebut dapat tersalurkan untuk mengatasi persoalan keumatan dan berbagai masalah lainnya. (Syakir NF/Abdullah Alawi)